"Maksud lo apa ngasih barang pemberian gue ke temen-temen kampungan lo itu?"
Aji baru saja sampai di kantin ketika Firla meneriakinya.
"Inget, lo itu gak akan pernah mampu beli barang-barang itu. Orangtua lo udah bangkrut!"
"Lo yang kampungan. Ngasih aja diungkit-ungkit." Damar mencibir.
"Bokap baru kerja di Kates aja belagu. Malu kali sama anaknya yang punya Kates." Arnaldo menggelengkan kepalanya.
"Lo juga gak akan mampu beli kalau bukan karena bokap lo." Sean tertawa kecil.
"Ada apa, sih? Ini kenapa?" Eskpresi Aji terlihat bingung.
"Gak usah pura-pura gak tau! Lo ngasih barang dari gue ke temen-temen lo, kan?!" Firla berkacak pinggang.
Sudah dua minggu ini Firla memang selalu memberikan barang untuk Aji. Barang yang berbeda setiap hari selalu laki-laki itu terima. Tujuannya hanya untuk menghargai gadis itu. Takut jika nanti kedua kakak perempuannya tidak dihargai oleh laki-laki lain di luar sana.
"Itu barang yang beda, cek aja. Dari lo kan ada tanda tangannya."
Gadis di hadapan Aji itu terdiam. Kepalanya menunduk, menahan malu. Kemudian ia berlari cepat meninggalkan kantin.
Melihatnya, Sean tertawa. "Siapa anak yang punya Kates?"
Arnaldo menggeleng, tanda tidak tahu. "Pasti punya anak."
"Besok libur, nanti pulang sekolah ke rumah Aji, yuk!" ajak Damar tiba-tiba.
Temannya yang lain mengiyakan. Membuat Aji merasa bimbang. Sebenarnya ia tidak mau teman-temannya mengetahui latar belakang keluarganya. Takut jika mereka tidak mau lagi berteman dengannya.
"Tapi gue dijemput." Sebisa mungkin anak itu mencari alasan agar teman-temannya tidak jadi berkunjung ke rumahnya.
"Bilang aja gak usah dijemput. Gue bawa motor sendiri," ucap Nakula.
"Gue skip, gak bisa kalau dadakan," ucap Kadek.
"Berarti cuma gue, Nakula, Lana, Felix , Sean sama Arnaldo. Diterima gak?" tanya Damar dengan serius.
Aji tersenyum. "Diterima. Tapi gue harus pulang sama jemputan, takut bokap gue marah."
"Gampang, kami bisa ngikutin dari belakang," kata Sean.
"Setengah jam perjalanan kalau gak macet. Kalian capek, gak?"
Pertanyaan Aji membuat teman-temannya tertawa. "Udah biasa."
Anak laki-laki itu mengeluarkan gawainya dan mengetikkan sesuatu di sana.
*
"Fanya, hari ini anak-anak mau ke rumah. Mau ikut?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
أدب المراهقين[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...