Bab 22

12.6K 1.3K 186
                                    

Aji membuka kedua matanya. Tangan kirinya meraba sisi kiri tempat tidur. Tidak ada siapapun di sana. Di sisi kanannya, ada kakaknya yang masih memejamkan kedua matanya.

"Kak, masih tidur?" tanyanya dengan suara khas bangun tidur. "Kaela?"

Gadis itu menutupi wajahnya dengan guling. "Fiqa."

Aji menutup mulutnya yang menguap. "Kaela mana?"

"Di kamar mama," gumam Fiqa.

Aji bergegas menuju kamar kedua orangtuanya. Tangan kanannya mulai mengetuk pintu.

"Gak mandi, Ji?"

Laki-laki itu menoleh, dilihatnya Nadya yang berdiri di depan pintu kamar sebelah.

"Aji cari Kaela, Bun."

"Masih tidur, mungkin. Kamu mandi dulu aja." Nadya menguap.

"Kaela tidur sama mama papa?" tanya Aji, bingung.

Wanita di hadapannya itu mengangguk. Tatapannya kosong menatap arah di hadapannya. Terlihhat jelas kedua matanya yang sembab.

"Bunda kenapa matanya?"

Nadya menoleh. "Kenapa apanya?"

"Bengkak."

Ekspresinya kini berubah datar. "Perasaan kamu aja." Kemudian ia masuk ke dalam kamar anak kembarnya.

*

Acara wisuda Fiqa telah usai. Kini, Aji sedang duduk santai bersama Qila. Keduanya lebih memilih untuk beristirahat di kamar daripada ikut bersama yang lain pergi membeli sesuatu.

"Tadi, aku denger Kafi gak mau pulang ke Jakarta. Aku kira, ancamannya waktu itu cuma karena lagi kesel aja." Aji membuka topik pembicaraan.

"Fiqa selalu serius sama ucapannya."

"Kakak seneng gak sih? Punya kembaran kayak Kafi yang bener-bener ngelindungin Kakak dari Opa di saat orang dewasa lainnya seakan nutup mata sama telinga?" Anak itu menoleh ke arah sang kakak.

Qila tersenyum tipis. "Kalau kamu di posisi aku, apa yang kamu rasain?"

"Seneng. Bahkan berterima kasih banget. Terus, aku bakal benci semua orang dewasa yang gak ngelindungin aku dari Opa."

Gadis itu tertawa kecil. "Setiap orang punya alasan atas perbuatan yang mereka lakukan. Kita gak bisa main bilang kalau mereka itu salah karena gak benar-benar tau apa yang mereka hadapin dan rasain."

Pintu kamar pun diketuk dari luar. Kakek muncul dari balik sana.

"Qila."

Gadis itu menatap wajah Kakek. "Iya, Kek?"

Pria tua itu berjalan mendekat. Ia menghela napasnya. Kedua tangannya menggenggam erat pundak cucu perempuannya itu.

"Kuliah pelan-pelan. Semuanya ada waktunya. Gak usah cemas sama apa yang gak perlu kamu cemasin. Kakek di sini akan bantu kamu. Jangan ragu jadiin Kakek orang pertama yang kamu hubungin di saat kamu perlu sesuatu."

Qila memutuskan tatapan matanya dengan Kakek. "Aku bisa, Kakek. Aku pasti bisa lulus lebih cepat sesuai keinginan Opa."

"Kamu juga cucu Kakek. Kenapa cuma Opa yang kamu turutin?" Ada penekanan pada kalimat terakhir yang diucapkan oleh Kakek.

WasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang