Waktu istirahat telah tiba. Aji yang sedang malas meninggalkan ruang kelas, memutuskan untuk berdiam diri.
"Ji, makan, yuk." Arnaldo berdiri dari bangkunya.
"Males ke kantin. Pesen online aja, gimana?"
"Pake duit lu." Arnaldo menunjukkan deretan giginya.
"Emang kapan jajan sama gue, lu yang bayar?" Aji tertawa kecil, mengeluarkan gawainya.
"Widih, ada yang hapenya gak disita, tuh." Damar meledek.
"Oh, gue sangat berterima kasih kepada Kaela." Lelaki itu menatap temannya. "Mau sekalian gue beliin makan siang, gak?"
Yang ditanya belum menjawab, Aji sudah kembali berkata, "Gue beliin aja kalian semua, ya."
"Jangan lama-lama, gue mau pacaran," ucap Damar dengan serius.
"Punya pacar lo sekarang? Gak bilang-bilang." Kadek terlihat tidak terima.
"Punya. Namanya Raaya."
Felix mengernyitkan keningnya. "Raaya siapa? Baru denger."
"Raaya." Damar melirik Aji. "Lathief."
Sean dan Arnaldo tertawa lepas. Berbeda dengan Aji yang kini terlihat sangat kesal. Diletakkannya gawai miliknya di atas meja dan menoleh ke arah kiri, tempat Damar duduk.
"Gue mampu nonjok mulut lo itu, ya. Gue bisa tendang kaki lo yang pake tongkat itu."
"Sabar sih, Ji. Itu cuma bercanda." Arnaldo masih tertawa.
Kini, Aji menoleh ke arah kanan, tempat Arnaldo dan Sean duduk bersama.
"She is five! She is fucking five years old!"
"Loh, dia ngaku ke gue umurnya lima belas tahun," ucap Damar dengan ekspresi yang dibuat seolah serius.
Aji kembali menoleh ke arah kirinya, kedua matanya melotot.
"Peace!" Damar tertawa.
"Aishah jomlo, kan?" Arnaldo tersenyum manis.
"Ngomong sekali lagi, makanan lo gak gue bayarin!" ancam Aji dengan ekspresi sangat kesal. Ia tidak suka jika teman-temannya mengajak bercanda perihal menjadi kekasih dari kakak atau sepupunya.
"Eh, jangan dong! Maaf."
Aji kembali mengetik sesuatu di atas layar gawainya.
"Ji, ngomong-ngomong, kemarin akhirnya gimana?" tanya Sean, penasaran.
"Yang mana?" tanya Aji tanpa menoleh.
"Yang ganggu lo sama Damar."
"Gue gak ikutin kasusnya, tapi nanti coba gue tanya ke Kaela, ya."
Setelah selesai memasan makanan, Aji menekan kontak Qila dan mengklik tombol untuk melakukan panggilan video.
Dengan sifat jahilnya, Aji menyambungkan ponselnya pada layar proyektor sehingga kini tampilan ponselnya dapat dilihat oleh teman satu kelasnya.
"Hai!" Wajah Qila mulai terlihat. Senyumnya begitu manis.
"Kak, muka kakak ada di depan kelas." Aji tertawa jahil.
"Aku baru sampe Australia, ini lagi main di rumah Uncle Mo."
"Mau istirahat ya, Kak?"
Qila meletakkan gawainya di atas meja dalam posisi bersandar pada sebuah barang. "Tunggu, ya." Tak lama, gadis itu pergi meninggalkan gawainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...