Bab 44

41 28 32
                                    

Bintangnya sudah? 🌟

Happy Reading ^^

***

Kata sebagian orang, setomboi-tomboinya perempuan. Bila ia sedang jatuh cinta, akan tetap berusaha menjadi gadis yang feminim di depan orang yang dicintainya. Begitu pula yang dirasakan Rasita sekarang. Tiap akan bertemu dengan Davi, jiwa perempuannya muncul. Terlebih saat ia tahu, Davi menyukai gadis lembut seperti Azura.

Pantulan wajahnya tampak manis dan cantik di cermin. Riasan natural memang sudah menjadi ciri khasnya. Meskipun tomboi, ia masih dapat mengenali macam-macam alat make up dan juga skincare.

Matahari di luar sana tidak begitu terik. Akhir-akhir ini, cuaca sedang mendukung untuk beraktivitas di luar ruangan. Langit sering menampakkan gumpalan awan-awan putih yang berarak mengikuti hembusan angin.

Rasita mengendarai motor kesayangannya. Motor yang menemaninya selama SMA. Kadang di tanah Solo, ia merindukan bebas ke mana saja dengan motornya ini. Gadis itu mengarahkan motornya menuju rumah Bulik Esti, bulik Davi.

Semalam Davi memintanya datang. Pemuda itu akan mengajaknya menaiki bukit yang tak jauh dari sana. Tak sabar Rasita menikmati sejuknya bukit dengan hamparan rerumputan hijaunya.

"Di atas mau motret juga?" Rasita menghampiri Davi yang tampak sibuk membawa beberapa peralatan memotretnya.

"Eh, Ta. Ngapain ke sini?" Davi menghentikan aktivitasnya.

Refleks Rasita memundurkan sedikit wajahnya. Dahinya berkerut. Menatap Davi heran dan penuh tanya. "Kan kita mau pergi."

Tak kalah herannya dengan Rasita, Davi menatap bingung. "Pergi ke mana? Aku nggak ngajakin kamu pergi."

"Tapi kamu kemarin chat bilang kita mau naik bukit."

"Kapan? Aku nggak inget. Kamu sakit ya, Ta? Makanya halu gini." Davi menempelkan tangannya di dahi Rasita.

Rasita menepisnya. "Ih nggak. Nih, kamu chat aku gini. Besok ke rumah ya, kita ke bukit dekat rumah." Ia membacakan pesan singkat Davi semalam.

"Besok tu nggak hari ini, Sita. Besok bisa lusa, seminggu lagi, sebulan lagi, besok besoknya. Yang aku maksud bukan hari ini. Aku ada janji sama Joan." Davi kembali menyibukkan diri dengan menaruh beberapa barangnya di motor.

Ekor mata Rasita mengikuti pergerakan Davi. Ia terabaikan. Seperti tak terlihat oleh lelaki itu. Dengan santai Davi melewatinya.

"Kamu kenapa, sih?" gertak Rasita frustrasi.

"Apa, Ta? Kok tiba-tiba marah."

"Kamu aneh. Aku dateng sampai sini, kenapa dicuekin? Kamu anggep aku ada nggak sih, Dav? Ajak ngobrol kek, apa kek," gerutunya bersungut-sungut.

"Aku sibuk. Ada kerjaan." Davi menaruh barang terakhirnya di motor.

"Ya seenggaknya kamu ajak aku ngobrol. Nggak diam aja. Kemarin kamu bilang serius. Sekarang kamu bikin aku goyah lagi. Maunya apa, sih? Tarik-ulur aja terus sampai putus." Rasita tersulut emosi.

"Aku nggak minta kamu datang ke rumah. Aku udah janji sama Joan jauh-jauh hari. Temannya minta foto produk. Aku nggak ada niatan tarik-ulur kamu, Ta." Davi menatap Rasita, minta pengertiannya.

"Tapi kamu juga janji ajak aku ke bukit hari ini." Rasita kesal.

Davi mendekat. Ia sedikit mengencangkan suaranya. "Aku nggak janji apa-apa sama kamu. Nggak semua yang aku ucapin dibilang janji, Ta. Besok yang aku maksud bukan hari ini."

"Kok ikut marah? Nggak biasanya ngajak ribut. Dah kayak Rafka." Rasita memalingkan wajahnya.

"Jangan samain aku kayak Rafka!" hardiknya.

Penghujung (R)asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang