Bab 47

42 26 31
                                    

Klik bintang dulu yuk! 🌟

Happy Reading ^^

***

Kasur dengan ukuran 200x120 itu dipenuhi pakaian dan sebuah travel bag. Beberapa barang berserakan di lantai kamar. Azura melipat seluruh pakaiannya dan menyiapkan kebutuhan kuliah. Besok ia akan kembali ke Solo, melanjutkan kuliah di semester baru.

Banyak kisah yang terukir ulang di kota kelahirannya. Satu tahun mengasing di kota orang, jarang pulang. Menghindari semua tentang 'dia'. Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Hanya untuk penjelasan dari sebuah kesalahpahaman. Setahun yang cukup sia-sia untuk hubungan Azura dan Rafka. Kendati demikian, waktu telah membuat mereka jauh lebih dewasa.

"Besok beneran balik ke Solo, Mbak?" Nadira memasuki kamar Azura dengan membawa kardus ukuran 10x7x5 sentimeter yang berisi barang pemberian Rafka untuk kakaknya.

Mendengar pertanyaan Nadira, sontak Azura langsung menoleh. Menyelidik. "Tumben banget. Kenapa? Takut kangen, ya?"

Tanpa disangka, Nadira mengangguk pelan. Baru kali ini ia berani mengakui bahwa rasanya sangat sepi ketika Azura tidak berada di rumah selama berbulan-bulan. Pasalnya, dua adik berkakak ini memang tidak pernah terpisah dalam jangka waktu yang lama.

"Bohong, ah. Masa kamu kangen sama Mbak. Mustahil." Azura menolak jawaban Nadira yang memang sangat diragukannya. Meski sangat wajar jika saudara yang terpisah jauh saling merindukan.

"Ish. 'Kan, gitu mulu. Udah jujur masih aja dibilang bohong," dengus Nadira.

Azura mengangkat alisnya. "Masa?"

"Um, bukan kangen, sih." Nadira mengerling. "Apa, ya? Lebih ke sepi. Sepi nggak ada Mbak Zura. Nggak punya teman ribut. Nggak ada yang bisa aku jahilin, aku godain. Ya kali godain ayah."

Sontak Azura terbahak. Membayangkan Nadira menggoda sang ayah. Mungkin sudah seperti sugar daddy dan sugar baby. Sungguh menggelikan.

"Hahaha ..., ayah juga udah pasti nggak mau ladenin kamu." Ia memegangi perutnya yang mulai terasa sakit akibat tertawa.

"Nah. Yang ada aku nggak dikasih uang jajan. Udah miskin, makin miskin. Jadi gelandangan sekalian nanti." Nadira menggerakkan kedua tangannya. Semangat sekali adiknya ini.

Sebenarnya, Nadira asyik juga untuk diajak bergibah ria. Sangat ekspresif dan tidak segan-segan memukul sesuatu didekatnya ketika menunjukkan rasa kesal. Sifatnya yang ceria ini membuat siapa pun betah mengobrol apa saja dengan Nadira, termasuk Azura, sang kakak. Namun, ketika mereka bersama, bukannya melakukan pergibahan duniawi, justru adu mulut dan berakhir aksi saling menjahili.

"Iya deh, tapi Mbak masih nggak percaya." Azura menggeleng sembari melipat pakaiannya.

"Sumpah ya, punya kakak nggak percayaan banget. Bisa ganti kakak nggak, Ya Allah." Nadira menengadahkan tangan. Kepalanya mendongak.

"Mana ada ganti kakak. Kalau bisa, dari dulu aku udah minta ganti adik," sambar Azura.

"Padahal punya adik kayak aku tu membahagiakan." Nadira menangkup kedua pipinya dan berkedip ke arah Azura yang langsung memberi reaksi bergidik ngeri.

Nadira mendekat. "Sini, peyuk dulu. Biar Mbak percaya sama aku. Peyuk mbakku yang cangtip."

Gadis remaja itu merentangkan kedua tangannya. Mendekati Azura. Dengan cepat, Azura menempelkan telapak tangannya di dahi Nadira.

"Gak! Jangan coba-coba. Geli tau, Nad." Azura mendorong mundur membuat Nadira kembali terduduk di tempatnya.

"Dipeluk Mas Rafka mau. Giliran dipeluk adik sendiri, nggak mau." Nadira mencibir dengan tatapan menggodanya.

Penghujung (R)asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang