Bab 9

202 155 202
                                    

Jangan lupa bintangnya yaa 🌟

Happy Reading ^^

***

Menghitung hari menuju rangkaian acara ulang tahun sekolah. Beberapa ekstrakurikuler–yang ditunjuk untuk pentas seni–mulai mempersiapkan seluruhnya dengan matang. Mading contohnya. Meskipun bukan ekstrakulikuler yang akan tampil seperti teater, musik, karawitan, dan paduan suara, mereka sudah menyiapkan mading khusus peringatan milad sekolah dalam bentuk 3D.

Mading yang terbuat dari potongan kerdus, dibentuk seperti bangunan sekolah. Terdapat kartun siswa berseragam SMA dan para guru, serta pepohonan hijau. Tersedia pula ruang kosong yang digambar seperti lapangan sekolah. Sengaja dikosongkan untuk menaruh ucapan dan harapan dari siswa SMA Pancasila. Puisi, kata mutiara, fiksi mini, fakta unik tentang sekolah, hingga profil siswa berprestasi, kepala sekolah, dan guru idaman tercantum di dalamnya.

Butuh kerja keras untuk menghasilkan mading 3D yang sempura. Tampak dari waktu yang mereka butuhkan untuk menyelesaikannya. Menjelang petang mereka baru membereskan ruangan sebelum pulang. Mading hanya tinggal diberi beberapa sentuhan esok hari.

"Masih nunggu?" Davi mendekati perempuan yang bersandar dengan mata menatap layar gawainya. "Rafka?"

Azura menggeleng. "Sita. Dia nginep di rumah. Tadi pagi berangkat bareng. Kayaknya masih latihan deh."

"Mau bareng?" Belum sempat Azura menjawab, Davi berbicara lagi. "Kalau kamu mau aja sih, Ra. Kalau nggak, ya aku tungguin sampai Sita selesai."

Azura menggaruk tengkuknya. Lorong gedung ekstrakulikuler tampak lengang. Tak ada satu pun batang hidung yang nampak. Luar gedung juga sudah mulai gelap. Sebentar lagi azan Maghrib berkumandang.

"Um, ya udah, boleh deh." Davi mengangkat ujung bibirnya membentuk lengkungan sabit. "Aku chat Sita dulu kalau udah pulang sama kamu."

"Kabarin Rafka juga," saran Davi.

Anggukan pelan sebagai jawaban Azura. Namun, ia tidak melakukannya. Entahlah, rasanya aneh ketika ia selalu menempatkan Rafka sebagai salah satu orang istimewa dalam hidupnya, sedangkan Rafka tidak menganggapnya begitu. Lagipula, akhir-akhir ini tampaknya Rafka juga jarang menunjukkan kepeduliannya.

***

Latihan karawitan hari ini berjalan lancar. Bahkan, tidak perlu menghabiskan banyak waktu hingga malam tiba. Pematangan latihan memang saat yang mengasikkan. Terlebih seluruh pemainnya sudah hafal not sehingga tidak banyak melakukan kesalahan.

Di depan ruang karawitan yang memang terpisah dari gedung ekstrakulikuler, siswa laki-laki dengan seragam yang sudah tidak beraturan duduk santai memainkan ponselnya. Mengetuk huruf demi huruf menjadi sebuah pesan singkat untuk kekasihnya.

Masih di ruang mading? Mau pulang bareng?

Aku tunggu di depan ruang karawitan, Boo.

Sudut bibirnya terangkat. Ia sadar bahwa selama latihan banyak tugas sekolah yang tertinggal sehingga harus mengejar dan waktu untuk gadisnya berkurang. Cenderung sering pulang malam juga membuatnya cepat lelah dan tidak sempat mengabari. Malam ini, ia hanya ingin bersama orang yang dirindukan meskipun hanya sebentar.

Matanya melirik ke gedung ekstrakurikuler. Sesekali membuka aplikasi WhatsApp untuk mengecek pesannya sudah terbaca atau belum. Satu menit, dua menit, rasanya sangat lama. Rafka bangkit, memutuskan untuk menyusul. Kalau pun ia tidak mendapati Azura di sana, setidaknya ia memiliki opsi kalau kekasihnya sudah di rumah dan ia dapat pulang dengan tenang.

Selangkah, dua langkah. Netranya membulat. Langkahnya terhenti. Ia mematung, menatap dua insan yang terlihat akrab. Saling melontarkan canda dan tawa. Rafka mengecek kembali ponselnya. Pesannya belum terbaca.

Penghujung (R)asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang