Bab 42

39 29 35
                                    

Terima kasih sudah klik bintangnya 🌟

Happy Reading^^

***

Rasita menatap pantulan dirinya di cermin. Sesekali melirik ponselnya. Pertemuan tempo hari dengan Mama sudah cukup membuatnya terkejut. Terlebih ketika mengetahui dirinya memiliki seorang adik laki-laki dari pernikahan Mama dengan suami barunya.

Hari ini Mama mengajaknya bertemu setelah sekian lama melupakannya. Entah apa yang akan dibicarakan Mama nanti. Hubungannya dengan Papa juga belum membaik. Sampai detik ini keduanya masih diam. Lebih tepatnya, Rasita menghindari Papa.

"Ta, buruan." Davi mengetuk pintu kamar Rasita.

"Davi, ngapain naik? Tunggu di bawah aja." Suara Rasita terdengar kaget. "Turun, Davi!"

Alih-alih mengikuti perintah Rasita, Davi tetap berdiri di depan pintu. Berteriak, "Aku masuk, ya?"

"Jangan gila!" Lagi-lagi Rasita berteriak kencang. Membuat Davi tak dapat menahan tawanya.

Suara Rasita selalu menjadi candu untuknya. Terakhir bertemu, gadis itu tampak tak acuh dengan kehadirannya. Akan tetapi, ujungnya tetap sama. Rasita membutuhkan dirinya untuk menyalurkan segala perasaan tidak enaknya.

Gadis itu menceritakan tentang banyak hal. Mama, Papa, dan juga teater yang sebagian Davi sudah mengetahuinya. Pasti sangat mengejutkan bertemu orang yang menghilang tanpa kabar selama bertahun-tahun.

"Awas kamu berani masuk! Nggak aku bolehin tidur di kamar," teriak Rasita lagi. Suaranya terdengar menggemaskan.

"Lah emang udah serumah? Kamu 'kan nggak tau aku tidur dimana nanti malam," balas Davi santai.

"Ih pokoknya gitu! Turun aja, tunggu di bawah."

"Iya, ini aku turun." Pemuda itu tetap berdiri di depan pintu kamar Rasita. Tidak ada niatan untuk melangkah turun. Ia akan menunggu gadisnya bersiap.

Tak lama daun pintu bergerak. Davi sengaja memasang tubuhnya tepat di depan pintu. Keluarlah perempuan yang ditunggunya. Davi memiringkan kepalanya saat Rasita membulatkan mata, menatapnya.

Ada sesuatu yang mengganggu pandangan Davi. Ia menatap intens Rasita. Merasa diperhatikan, gadis itu salah tingkah.

"Ngapain lihat-lihat?"

Davi tidak menjawabnya. Detak jantung Rasita mulai tidak beraturan. Matanya tak berhenti menatap lekat lelaki di hadapannya. Davi mendekatkan tangannya, menyentuh bibir Rasita. Sapuan lembut terasa di bibirnya. Seluruh tubuhnya memanas, menegang sempurna.

"Kamu nggak perlu pakai lipstik semerah ini," ucap lelaki itu.

Sontak Rasita menutupi bibirnya. "Ini nggak merah tau. Lagian apa salahnya sih jadi cantik sebentar aja."

"Nggak perlu." Rasita tertegun. "Kamu cantik apa adanya buat aku."

Rasita tak berkutik. Ia benar-benar menjadi patung dengan balutan kaus dan rok di bawah lutut. Sekarang tidak hanya bibirnya yang memerah, pipinya juga.

"Aku suka kamu yang biasanya, kepiting rebus." Davi mencubit kedua pipi Rasita.

Refleks, Rasita memukul tangan Davi kencang. Ia berlari masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Rasita langsung mengambil bantal dan menutupi wajah. Ia berteriak sekencang-kencangnya.

"Davi gila." Gigi-giginya gemeretak. Rasa kesal berubah senang, bercampur tidak karuan menghiasi relung jiwanya.

Gadis itu berlari ke depan cermin. "Terlalu merah, ya? Perasaan biasa aja." Ia bersandar ke dinding. "Davi sweet banget, sih. Hal kecil aja diperhatiin. Uw, gemes. Aku 'kan jadi makin bucin."

Penghujung (R)asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang