Jangan lupa bintangnya ya, Sayang 🌟
Happy Reading ^^
***
Pentas seni berjalan dengan lancar. Waktunya Rasita pulang ke rumah, berdamai dengan Papa. Meskipun ia baru akan pulang, tetapi dia dan Papa sudah saling berkabar melalui telepon dan pesan singkat. Teknologi dapat memudahkan semuanya, bukan?
Di tengah perjalanan, motornya terhenti. Rasita mencoba menyalakan mesin motornya. tetapi hasilnya nihil. Motornya mogok. Tidak biasanya sang motor ngambek di tengah jalan. Ia masih cukup jauh dari rumah, menuntun motornya akan sangat membuang waktu dan tentunya melelahkan.
Ia menggaruk kepalanya. Mengedarkan pandang, siapa tahu ada bengkel. Ia menuntun motor sambil terus melihat ke kanan dan ke kiri. Tak lupa bibirnya yang menyumpah serapah. Kesal dengan motor yang sudah dirawatnya bertahun-tahun. Semakin ia berjalan, semakin pasrah saja. Sepertinya memang tidak ada bengkel.
"Butuh bantuan?" seseorang menyamai langkahnya. Suara mesin motor terdengar lirih dan terus berada di sisinya dengan kecepatan rendah.
"Kelihatannya gimana?" Rasita balik bertanya setelah mengetahui bahwa seorang lelaki yang dikenalnya tengah berusaha menyeimbangkan motornya.
"Mogok?" Gadis itu berhenti. Diikuti oleh lelaki yang juga menghentikan laju motornya. "Mau aku panggilin bantuan? Kebetulan abangku bisa diandalkan urusan kayak gini."
"Kalau nggak ngerepotin." Lelaki itu tidak menjawab. Ia langsung mengeluarkan ponsel dan mencari kontak sang kakak. "Makasih udah mau bantu, Dav."
Belum sempat panggilan Davi terjawab, suara bass memusatkan perhatian. "Kenapa lo?" Ia melirik ke arah Davi. "Oh lagi pacaran. Eh, tapi ... lo Davi, 'kan? Nggak dapat Azura lari ke sahabatnya?"
"Rafka! Mulut lo sekolahin!" Refleks Rasita memukul kencang Rafka yang masih duduk di jok sepedanya.
"Ciye ngebela." Telunjuk Rafka tepat di depan wajah Rasita
"Diam, nggak? Gue santet juga mulut lo."
"Elah, gitu doang mainnya santet. Emang dasar temannya jin." Rafka menyilangkan tangannya di depan dada dengan senyuman menggodanya.
Belum sempat Rasita menghajar Rafka, Davi menengahi dengan menahan tangan Rasita. "Ta, abangku nggak angkat telepon. Mau aku temenin atau antar ke bengkel?"
"Aduh, nggak usah. Beneran. Nggak mau ngerepotin." Rasita menggeleng cepat. "Aku bisa sendiri, kok."
"Udah, tinggal aja. Rasita cewek tangguh. Bisalah bawa motor sendirian ke bengkel," kompor Rafka dengan tatapan tak acuh.
Rasita memaksakan senyumnya. "Kamu balik aja, Dav. Rafka bisa aku suruh-suruh kalau ada apa-apa."
Sontak Rafka mendelik. "Enak aja. Gue bukan babu."
Lagi-lagi Rasita memukul Rafka. Kali ini lebih seperti tamparan yang mendarat di sebagian wajahnya. Gadis itu memelankan suaranya. "Diam atau gue aduin ke Zura lo macam-macam."
"Ya udah kalau gitu. Aku duluan ya, Ta." Akhirnya Davi pamit pergi.
"Sejak kapan?" tanya Rafka setelah Davi menghilang di tikungan jalan.
"Baru tadi. Ya kali dari kemarin." Rasita membetulkan letak helai rambutnya yang mulai berantakan.
"Oh ... lo barusan jadian sama Davi?" Rafka menatap penasaran.
"Enak aja! Gue aja baru-baru ini sering ketemu dia. Tiba-tiba jadian. Emang lo? Baru satu projek sama Elina dah kayak orang pacaran."
"Terus jawaban lo tadi apa?" Rafka mengikuti gaya bicara Rasita. "Baru tadi. Ya kali dari kemarin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghujung (R)asa
Teen Fiction[Follow dulu yuk. Jangan lupa vote di tiap babnya 🌟] Terjebak dalam hubungan tanpa status. Sebatas teman, tetapi saling mencintai. Tentu menimbulkan banyak gejolak. Harapan yang terkadang semu dan tak kuasa untuk menampiknya. Ketika status mulai di...