Bab 3

292 205 270
                                    

Jangan lupa klik bintangnya 🌟

Happy Reading :)

***

Rasita keluar dari kamar setelah mendengar sayup-sayup Papa memanggilnya. Jam menunjuk pukul tujuh malam, artinya Papa baru saja pulang dari kantor. Rasita menuruni tangga dan langsung menuju ruang makan. Tampak lelaki paruh baya dengan kaus lengan panjang. Rupanya Papa sudah berganti pakaian.

"Ada apa, Pa?" tanyanya seraya menghampiri Papa yang sedang mempersiapkan makan malam.

"Sini, kita makan sama-sama," jawab Papa.

Hubungan Rasita dan Papa terbilang cukup dekat. Terlebih kini rumah yang cukup luas ini hanya ditinggali oleh tiga orang saja, dirinya, Papa dan Bi Inah, ART di rumah mereka. Sepi sekali rasanya. Bahkan, Rasita sering merasa tinggal sendirian. Papa pulang paling cepat pukul tujuh malam, tak jarang kerja lembur sampai pergi keluar kota. Walaupun sibuk, lelaki paruh baya itu selalu berusaha meluangkan waktu untuknya, seperti malam ini.

"Hum .... Harumnya masakan Bi Inah." Sita mendekati meja makan. Semerbak wangi nasi goreng memenuhi ruang makan.

Ia mengambil piring dan melayani Papa, menggantikan tugas seorang istri. Mama, Rasita tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Beliau pergi sejak ketok palu perceraian. Tak pernah lagi muncul wujudnya. Nomer teleponnya saja sudah berganti.

"Gimana sekolah kamu?" tanya Papa di sela-sela makannya.

"Kayak biasa. Bentar lagi banyak ujian."

"Udah semester akhir. Udah kebayang mau ambil jurusan apa nanti?" Rasita menggeleng pelan. "Papa perhatiin, nilai Biologi kamu bagus terus dari kelas sepuluh. Nggak mau coba jurusan Biologi? Atau jurusan IPA? Ilmu Gizi?"

Rasita menelan makanan yang masih memenuhi mulutnya. "Kalau selain IPA boleh, Pa?"

"Nggak sayang tiga tahun belajar IPA, kuliahnya Soshum?" Papa menatap serius.

"Ya sayang, sih," ucap Rasita lirih.

"Papa dukung apapun pilihan kuliah kamu, Sita. Papa mau yang terbaik buat kamu." Tampak senyum tulus terbit di wajah Papa. Melihatnya Rasita mendapat sedikit keyakinan untuk berkata jujur tentang pilihan jurusan kuliahnya.

"Pa, Sita pengin masuk te–"

"Linjur boleh, asal bukan seni pertunjukan dan sejenisnya," potong Papa yang kembali melahap makanannya.

Ya, begitulah Papa. Jawabannya sudah diduga dan menjadi satu-satunya kemungkinan yang ditebak Rasita. Bukan seni pertunjukan dan sejenisnya. Setidaknya kalimat itu sudah mewakilkan bahwa Papa tidak akan menyetujuinya ada dibidang yang sama dengan Mama.

Besar keinginan Rasita untuk melanjutkan kuliahnya di dunia seni pertunjukan. Ia merasa terlahir kembali ketika memerankan karakter tokoh dengan tubuhnya. Rasita pernah berharap akan besar bersama seni pertunjukan. Namun, apakah harapan itu harus ia kubur dalam-dalam karena Papa?

"Sita belum yakin ambil jurusan apa. Sayang juga kalau tiga tahun pusing sama Fisika, Kimia, Biologi, tapi nggak kepakai di kuliah. Nanti kalau Sita udah yakin, Sita bilang Papa. Ini juga baru awal masuk semester dua." Ada rasa kecewa menyelimuti hati Rasita, tetapi ini bukan apa-apa. Rasita sudah siap dengan semua rasa yang akan timbul.

"Ya sudah. Pikirkan baik-baik. Ini menentukan masa depanmu," nasihat Papa yang dibalas dengan anggukan pelan oleh Rasita.

Sesekali gadis itu menatap sang ayah. Ia tidak pernah tahu apa alasan Papa tidak mengizinkannya bermain teater. Padahal saat SMP, Papa sangat mendukungnya. Papa dan Mama tak pernah absen di setiap pertunjukan Rasita. Entah perubahan itu dimulai sejak kapan. Yang Rasita ingat, Papa tak lagi ingin melihatnya menekuni teater sejak SMA. Ia tidak diizinkan ikut ekstrakurikuler teater. Papa bilang, tidak ada gunanya mengembangkan seni pertunjukan, masa depannya tidak tentu.

Ia bisa mengikuti teater setelah melakukan negosiasi sengit dengan Papa. tampak sekali Papa tidak suka. Beliau mengizinkan dengan beberapa persyaratan. Namun, hal ini tidak membuat Rasita tersenyum bahagia. Setiap ada jadwal pertunjukan, Papa tak pernah datang. Mamanya pun juga tak pernah terlihat. Ingin rasanya menjadi keluarga yang utuh dengan penuh kebahagiaan seperti dulu.

***

Maaf, terlalu pendek

Kira-kira apa yang buat Papa nggak izinin Rasita main teater, ya? 

Tunggu kelanjutannya 🤗

Salam manis,

Fai

Penghujung (R)asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang