Bab 10

182 140 116
                                    

Hai semuanya. Maaf baru bisa update setelah sekitar seminggu nggak up.
jangan lupa bintangnya ya.

happy reading ^^

***

"Kenapa lagi?" tanya Elina pada Rafka yang duduk sedirian di pojok ruang karawitan. Lelaki itu sempat memintanya datang. Entah untuk apa.

"Pernah cemburu, 'kan?" Rafka memainkan stik drum yang memang sengaja diletakkan di ruang karawitan untuk latihan.

"Sering," jawab Elina tanpa beban. "Kalau aku tebak, ini tentang Azura?"

Tangan Rafka mengambil dua permen mint dan memakannya sekaligus. Di sampingnya beberapa sampah bungkus permen sudah menumpuk. "Menurut kamu, mereka gimana?"

"Davi, Azura?" Elina menatap Rafka serius. "Belum tentu mereka ada something, Raf. Setauku, mereka partner di Mading. Wajar kalau dekat. Emang udah tanya langsung ke Azura?"

Rafka menggeleng pelan. "Aku takut kehilangan dia."

Elina terkekeh dan meninju lengan Rafka, seperti yang biasa ia lakukan. "Lemah ya, kalau dah nyangkut Azura."

"Si kacamata pasti udah ambil kesempatan selama aku ngurus pentas sama tugas sekolah. Azura nggak ngabarin dia pulang sama Davi. Kalau bukan karena ada something, menurutmu apaan?" Wajah Rafka tampak frustrasi.

"Nethink mulu. Harusnya, makasih sama Davi udah jagain Azura selama kamu nggak ada. Azura pacarmu, 'kan? Harusnya kamu bisa percaya sama dia," Elina menasihati.

Lagi-lagi ia terdiam. Menyesap perisa manis bercampur segar yang memenuhi rongga mulutnya. Raut wajahnya sedikit demi sedikit berubah. Sepertinya ia sedang menimbang sesuatu dalam benaknya.

"Yang harus ditakutin bukan kehilangan dia, tapi takut kalau nanti dia nyaman sama Davi terus ninggalin kamu." Elina memperingati dengan wajah yang sengaja dibuat untuk menakut-nakuti Rafka.

Lelaki itu meletakkan stik drum lalu menunjuk Elina. "Ada benarnya."

"Iya dong, Elina." Elina bertopang dagu. "By the way, Raf. Bisa kurangin permen pas stres nggak, sih?"

Gadis itu menjumput sampah permen. Tak terhitung berapa jumlah yang berjatuhan dari jemari Elina. Sejak kecil, Rafka memang sudah menyukai permen dengan rasa mint menyegarkan. Saat ini, bisa dikatakan ia kecanduan. Bila sedang tidak baik-baik saja, jumlah permen yang dihabiskan sering di luar nalar.

"Diabetes baru tau rasa." Elina menunjuk Rafka.

Tanpa memperhatikan ucapan Elina, Rafka bangkit dengan senyum dan wajah yang lebih cerah dari sebelumnya.

"Mau ke mana?" tanya Elina.

"Kelas," jawab Rafka yang mulai meninggalkan Elina.

"Udah gini doang tujuan lo panggil gue?" teriak Elina dengan mengganti pronomina persona dari aku-kamu menjadi lo-gue.

***

Azura berjinjit, mencoba menggapai buku di rak paling atas. Namun, tak sampai. Ini part yang paling tidak ia suka dari tubuhnya yang kecil.

"Kalau nggak bisa minta tolong sama orang lain. Kan udah sering aku bilangin." Suara yang cukup familier di telinganya. Azura menoleh. Berdiri di sebelahnya lelaki berkacamata dengan senyum tipisnya. Ia membolak-balikkan buku yang tadi diambil.

"Kok kamu di sini?" Azura mengernyit. Alisnya hampir menyatu.

"Bukannya udah biasa ketemu di perpus?"

"Iya juga. Sampai lupa kalau tiap istirahat kamu semedi di sini. hihi." Azura tertawa kecil.

"Nggak tiap istirahat juga, Neng. Dikira aku nggak ada kerjaan lain, semedi di perpus terus." Davi ikut tertawa.

Sekilas Azura melihat Rafka yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Entah sejak kapan ia di sana. Dengan sorot mata yang mengisyaratkan ketidaksukaan. Tak lama Rafka meninggalkan ruangan penuh buku itu.

"Aku balik duluan ya, Dav," ucap Azura tanpa melepaskan matanya dari punggung Rafka.

"Eh ..., Ra. bukunya," ucap Davi. Azura tidak mendengarnya, ia mengejar Rafka keluar perpustakaan.

"Raf. Rafka, tunggu!" Rafka tak merespons panggilan Azura.

"Rafka, tunggu sebentar." Azura mempercepat langkahnya. Ia menggapai lengan Rafka.

"Mau ke kelas? bareng ya." lagi-lagi Rafka diam. Tidak ada satu kata pun yang terlontar.

"Kamu kenapa diam terus, sih? Dingin kayak kutub selatan." Rafka masih saja diam Namun, Azura tidak gentar mencari pembahasan baru agar lelaki itu membuka suara. "Kamu ngapain ke perpus?"

"Kenapa? Takut ketahuan lagi berduaan sama cowok lain?" Rafka menunjukkan smirk-nya.

"Maksudnya?"

Mata Rafka menggelap. "Kamu ada hubungan apa sama Davi di belakangku?"

"Nggak ada apa-apa. Kita cuma ...,"

"Cuma apa, Ra? Ini bukan pertama kalinya aku lihat kamu berdua sama Davi." Rafka diam sejenak. "Atau jangan-jangan, kamu nolak aku karena dia?"

Azura menggeleng pelan, tidak percaya jika Rafka dapat menyimpulkan secepat itu.

"Susah ya, Ra. Hanya untuk jadi pacar kamu tu susah." Rafka memelankan suaranya. "Kamu kenapa bohong?"

"Bohong apa lagi sih, Raf?"

"Kemarin kamu pulang sama Davi. Kenapa nggak bilang, Ra? Waktu ambil buku. Kamu minta aku bantu, tapi apa? Kamu malah sama Davi." Suara Rafka terdengar pelan, tetapi penuh penekanan. "Kamu pikir aku nggak tau seberapa dekat kalian?"

"Waktu itu, Sita minta tolong Davi karena dia ada di perpus." Azura menjelaskan kejadian tempo hari.

"Terus buat apa chat aku?" Tampak sekali wajah lelaki itu berubah sangat tegas dan diselimuti aura gelap.

Azura menggerakkan tangannya. Ia bingung menyusun kata. "Aku chat kamu sebelu Davi datang."

"Kamu mau bohong apa lagi? Aku tau gimana dekatnya kalian berdua." Rafka menurunkan oktaf suaranya. "Aku cemburu, Zura."

"Maaf." hanya satu kata yang dapat keluar dari bibirnya. Ia menunduk, mengusap air mata yang mulai menetes.

Rafka pergi begitu saja. Namun, langkahnya terhenti, tanpa menoleh. "Jangan nangis, Ra."

***

mungkin untuk beberapa minggu kedepan aku akan jarang update. dikarenakan kuliah daring udah mulai lagi dan tugasnya juga sudah mulai berdatangan.

aku akan berusaha tetap update paling nggak seminggu sekali. Nggak mau ninggalin kalian lama".

semoga cepat bisa menyesuaikan sama jadwal kuliahku. Aamiin.

semangat buat kalian yang udah mulai kuliah daring dan sekolah daring.

makasih banyak supportnya. kita ketemu lagi di chapter selanjutnyaa

Salam manis,

Fai

Penghujung (R)asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang