Bab 23

113 70 113
                                    

Klik bintang dulu yuk! 🌟

Happy Reading^^

***

Ruangan putih dengan kursi lipat yang sudah tertata rapi membentuk beberapa barisan. Terdapat jalan yang membelah lautan kursi itu menjadi dua bagian. Di sisi depan tampak panggung megah nan luas. Tercetak jelas tulisan 'Wisuda Purna Siswa SMA Pancasila'.

Para orang tua berdandan dengan pakaian formalnya menempati tempat duduk yang sudah disediakan. Guru-guru tak ketinggalan dengan seragam lurik hijau muda. Sedangkan seluruh siswa masih membentuk kelompok-kelompok kecil di luar ruangan dengan pakaian adat Jawa.

"Ini kalian janjian warna kebaya apa gimana, sih?" Davi memandangi kedua temannya dari atas sampai bawah, kebaya marun dan rok jarik model lilit.

"Eh iya bisa samaan gini. Model kebaya sama motif jariknya aja yang beda."

"Kita udah cocok jadi anak kembar belum, Dav?" Azura merangkul Rasita.

Davi bertopang dagu. "Um ..., oke lah. Sebelas-dua puluh gitu."

"Heh? Jauh banget sebelas-dua puluh," sahut Rasita sembari mengibaskan tangannya di udara.

"Oh iya, presensi di sebelah mana?" tanya Azura yang teringat kalau dirinya belum presensi.

Rasita menunjuk pintu masuk gedung. "Di dalam. Masuk langsung ada meja presensi. Ada guru-guru yang jaga di sana."

Azura mengangkat tangannya membentuk isyarat 'ok'. Kemudian menuju arah yang ditunjuk Rasita untuk presensi.

Tanda tangan menjadi tanda kehadiran siswa pada acara wisuda. Tidak ada antrian, membuat Azura tidak membutuhkan waktu lama untuk presensi. Setelah meninggalkan tanda tangannya, ia bergegas keluar gedung.

Deg...!!!

Waktu seakan berhenti ketika ia menatap manik hitam kecoklatan itu. Wajah yang sempat mengganggu pikirannya, membuatnya benci dan rindu secara bersamaan. Lelaki dihadapannya menyita seluruh perhatian. Hiruk pikuk sekitar seakan tak terdengar di telinganya. Fokusnya hanya pada 'dia'. Sosok yang dihindarinya sejak kejadian menyakitkan tempo hari.

"Rafka, dicari bunda. Ups...." Azura menatap perempuan yang membuyarkan pikirannya. Tampak Elina sedang menutup mulut sembari menatapnya.

"Permisi, mau lewat." Azura melewati Rafka begitu saja tanpa menatapnya.

Rafka mematung. Sikap dingin gadis itu sudah cukup memberikan isyarat bahwa Azura sudah memberi jarak untuknya. Seluruh kesempatan untuk memperbaiki telah lenyap. Tidak ada lagi harapan untuk kembali bersama perempuan yang dicintainya.

Azura berhenti sejenak. Ia melihat ke belakang. Matanya dan mata Rafka bertemu tanpa perintah. Ada pesan rindu yang keduanya sampaikan dari tatapan sekilas itu.

Tak ada kita, hanya aku dan kamu yang tak lagi menyatu.

Sesuatu menghantam keras dada keduanya. Menyisakan sesak yang tertahan. Azura segera pergi sebelum sesaknya berubah air mata.

"Nggak mau kamu kejar?" Elina mendekat.

Rafka menggeleng pasrah. "Lihat dia ketawa lagi itu udah cukup. Walau bukan aku yang jadi sumber tawanya."

"Aku nggak mau egois dengan merusak acara yang nanti bakal dia kenang seumur hidup." Rafka menghela napas panjang. "Dah, yuk. Katanya tadi dicari bunda."

Elina mengangguk pelan. Matanya tak lepas dari Rafka. Rasa bersalah menyeruak merasuki hatinya. Ia lah penyebab utama hilangnya binar mata lelaki itu.

Penghujung (R)asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang