Bab 22

98 73 107
                                    

Klik bintang dulu, nggih 🌟

Happy Reading ^^

***

Tidak memiliki rutinitas pasti layaknya seorang siswa membuat gadis bersurai hitam legam itu sering termenung di kamar. Terhitung sudah hampir seminggu ia mengisolasi diri dari dunia luar yang memungkinkan dirinya bertemu Rafka. Terlebih lelaki itu sudah datang setidaknya tiga kali ke rumah untuk menemuinya dan ketiganya ditolak Azura dengan alibi sedang belajar. Rafka pun mengerti gadis itu sedang menghindarinya.

Azura masih sama, bertingkah seolah tidak ada hal besar yang terjadi dalam hidupnya. Ia tidak menimbulkan kecurigaan berarti dari kedua orang tuanya maupun adiknya. Kendati demikian, Azura tetap Azura yang hancur setelah menyaksikan semuanya. Perempuan itu masih sering berdiam diri di kamar dengan tatapan kosongnya. Namun, ketika keluar dari kamar, ia adalah perempuan dengan semua kebiasaannya.

"Kenapa, sih? Ada yang salah, ya? Lihatnya gitu banget." Azura menanyai Rasita dan Davi yang tiba-tiba datang dan menatap dirinya heran.

Rasita menggeleng. "Serius nggak papa, Ra?"

"Seperti kelihatannya." Azura mengangkat kedua bahunya, menunjukkan bahwa dirinya memang baik-baik saja. "Kalian ada acara apa? Tiba-tiba dateng berduaan. Mau kasih tau kalau udah jadian, ya?"

"Mau jenguk kamu." Davi masih dengan tatapan herannya. Selama seminggu Azura sulit dihubungi. Bahkan, ponselnya mati. Dan sekarang, ia melihat gadis itu tampak biasa saja.

"Aku nggak sakit," jawab Azura santai. Entah benar-benar santai atau hanya dibuat-buat.

"Sakit hati." Rasita kini menyelidik.

Azura menggeleng. "Aku nggak papa. Santai aja. Sebelum itu juga udah sering lihat, kok. Udah kebal kali."

"Aku tau kamu ya, Ra. Jangan maksain diri buat bahagia kalau emang ada kesedihan yang harus ditunjukkan." Rasita makin menatapnya intens. "Kamu nggak bisa bohong sama sahabat sendiri."

Melihat Azura tidak nyaman, Davi menepuk pundak Rasita. "Bagus kalau Azura udah baik-baik aja." Ia beralih pada Azura. "Keluar yuk, Ra."

"Ish, mau ke mana? Nggak, ah." Azura langsung menolaknya. Dunia luar bagai ancaman untuknya. Ia tidak siap melihat banyak pasangan di luar sana. Lebih tidak siap lagi jika sewaktu-waktu Rafka mendatanginya.

"Tuh kan, kamu emang nggak baik-baik aja." Rasita menuding Azura.

"Mending kalian berdua aja yang keluar, jalan-jalan. Sekalian nge-date." Dalam situasi seperti ini Azura masih saja bisa menggoda sahabatnya.

"Nggak bisa!" tolak Rasita tegas. "Sekalian rayain kalau aku lulus SNM. Ayolah, Ra."

Azura terbelalak. Ia tidak tahu informasi penting ini. "Ha? SNMPTN? Lulus, Ta?" Perempuan yang duduk di hadapannya mengangguk mantap.

"Kenapa baru bilang sekarang, sih? Aku melewatkan info penting." Azura menekuk wajahnya.

"Salah siapa HP dimatiin," cibir Rasita. "Udah, yuk."

"Um, rayain di rumah aja, ya." Azura meminta.

"Nggak bisa!"

Mendengar penolakan Rasita, gadis itu terdiam. Ia menimbang. Azura memang penuh pertimbangan. Ia jarang mengambil keputusan tanpa menghitung kemungkinan yang terjadi. Marahnya adalah pengecualian. Gadis iu jarang marah. Ia cukup sabar. Terbukti dari caranya menghadapi Rafka dan Rasita.

"Ya udah, iya. Aku siap-siap dulu." Azura beranjak.

"Jangan buat kita nunggu lama, Ra." Davi memperingatkan. Sepertinya ia sudah sering menunggu Rasita sehingga tahu kalau persiapaan seorang perempuan yang katanya 'sebentar' atau 'lima menit' sama saja membuang waktu tidurnya.

Penghujung (R)asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang