Jangan lupa bintangnya ya ^^
Happy Reading
***
"Rasita!" panggil Papa seraya mengetuk pintu kamar anak semata wayangnya. "Sita, Papa tunggu di bawah."
Tak ada sahutan apa pun dari dalam kamar. Papa menghentikan langkahnya tepat sebelum menapaki anak tangga. Merasa ada yang tidak beres, tidak biasanya Rasita tidak menyahut. Papa menggapai daun pintu dan menekannya. Tidak ada siapa pun di dalam.
Papa masuk ke dalam kamar Rasita untuk menutup jendela yang masih terbuka. Langit terlihat mendung. Dahan-dahan pohon meliuk-liuk terkena angin yang cukup kencang malam itu.
"Mau hujan. Rasita di mana? Apa ada kegiatan belajar kelompok lagi?" monolog Papa. Memang sudah beberapa kali Rasita izin pulang malam untuk belajar kelompok dengan teman sekelasnya. Namun, malam ini gadis itu tidak mengabari sang ayah.
Tumpukan kertas HVS di atas meja Rasita membuat Papa penasaran. Ia mendekat, mengambil kertas yang bertuliskan 'Naskah Drama Ulang Tahun SMA Pancasila'.
Rahang Papa mengeras ketika membaca nama Rasita sebagai pemain utama. "Apa-apaan ini! Ternyata dia pulang malam untuk pementasan, bukan belajar."
"Papa." Terdengar suara Rasita dari luar.
"Papa udah pulang?" tanya Rasita setelah Papa keluar dari kamar. "Papa ngapain dari kamar Sita?"
"Kamu dari mana aja? Jam segini baru pulang," kata Papa dingin.
"Em ... Sita habis dari rumah Azura. Ngerjain tugas kelompok. Yang kemarin belum selesai, Pa."
"Jangan bohong!" bentak Papa.
"Beneran kok, Pa. Sita dari rumah Zura," lirih Rasita seraya membuka pintu kamarnya. Ia tidak ingin perang mulut dengan Papa sekarang. Badannya sudah lengket dan ingin segera mandi. "Sita mandi dulu ya, Pa. Bau kecut. Hehe."
Papa memijat kedua ujung matanya. Ada rasa bersalah sudah membentak anak semata wayangnya. Ia memandangi naskah drama. Tak menyangka anaknya berbohong hanya untuk sebuah pementasan yang tak disukainya.
"Sita, nanti Papa mau bicara."
Tak lama Rasita keluar kamar menggunakan kaus berwarna hijau muda dan celana panjang. Ia duduk di sofa ruang keluarga. Papa sudah menunggunya sedari tadi.
"Papa mau ngomong apa? Kok, kayaknya serius," tanya Rasita.
"Kamu nggak sembunyiin sesuatu dari Papa?" tanya lelaki paruh baya itu. Nada bicaranya terkesan dingin.
Rasita menggeleng pelan. "Nggak kok, kalau ada apa-apa Sita pasti cerita sama Papa."
"Yakin sudah cerita semuanya?"
Rasita mengangguk ragu. Dalam hatinya berharap Papa tidak mengetahui kebohongannya tentang pentas drama.
"Lalu naskah ini apa, Sita?" Papa mengangkat naskah drama. Rasita tersentak, matanya bulat sempurna mengarah pada kertas putih di tangan Papa.
"I—itu punya te—teman Sita, Pa." Rasita terbata-bata.
"Punya teman atau punyamu? Jelas di sini tertulis nama kamu sebagai salah satu pemainnya." Papa menatap tajam. Gadis itu menunduk, tak tahu lagi harus menjawab apa.
"Bukannya fokus ujian malah main peran nggak jelas kayak gini. Ini nggak akan bantu kamu kuliah, Sita," Papa membanting naskah yang sedari tadi masih dipegangnya ke meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghujung (R)asa
Teen Fiction[Follow dulu yuk. Jangan lupa vote di tiap babnya 🌟] Terjebak dalam hubungan tanpa status. Sebatas teman, tetapi saling mencintai. Tentu menimbulkan banyak gejolak. Harapan yang terkadang semu dan tak kuasa untuk menampiknya. Ketika status mulai di...