Part 19

421 26 2
                                    

Tingkah Mario yang sangat berbeda dibandingkan dengan hari-hari biasanya ternyata berlanjut saat dia masuk ke kantornya. Senyum manisnya semakin menambah tampan wajahnya. Bara yang pagi itu berangkat bersama dengan Mario dibuat jengah dengan tingkah laku anak lelakinya itu. Tapi Bara juga tidak bisa berbuat apa-apa karena tingkah laku Mario pagi ini masih tidak bisa disalahkan. Mario tidak berbuat tindakan kriminal. Dia hanya mencoba merebut perhatian dari Dea.

"Iyok, daddy harap hari ini kamu masih bisa fokus kerja. Kalau memang gak bisa konsentrasi, mending pulang aja kamu. Daddy bisa hold semua kerjaan kamu"

"Daddy salah, justru Iyok sekarang pengen banget kerja yang rajin. Kan buat masa depan Iyok dengan Dea. Kalau gak rajin, nanti mau dikasih makan apa anak-anak Iyok ntar?" Bara memijit ujung hidungnya. Kenapa hari ini tingkah laku anaknya semakin lama semakin parah tingkatnya. Bisa-bisa dia harus ke psikiater untuk konsultasi tentang kondisi anaknya itu

"Whatever-lah" Bara memilih mengalah dan menuju ruangannya dan meninggalkan Mario yang masih saja tersenyum menuju ke ruangannya sendiri.

Jika di rumah Bara dan Lina dibuat bingung dan pusing sekarang di kantor giliran Richard yang dibuat pusing dengan tingkah laku dari Mario. Setelah memberikan beberapa dokumen perusahaan yang harus diperiksa dan ditandatangani oleh Mario serta memberitahu seluruh agenda kegiatan Mario hari ini, akhirnya Richard memberanikan diri bertanya.

"Bos, kagak ada gitu keinginan buat cerita? Apa kek gitu? Girang amat kayaknya"

"Keinginan gue cuman satu. Gue pengen gandeng tangan Dea di depan altar, and both of us will said I do" Jawaban yang sangat tidak sinkron dengan pertanyaannya itu membuat Richard semakin membelalakkan mata.

"No comment dah bos" Richard memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya dan meninggalkan Mario dengan segala kehaluannya pagi ini.

***

Di rumah, Dea masih saja bingung. Diperlakukan seperti tadi oleh Mario, tentu memberikan kesan tersendiri baginya. Dia belum pernah berhubungan dengan pria manapun. Bahkan cinta monyetpun tidak. Jadi, bisa dibilang Mario adalah orang pertama yang berhasil menarik hatinya.

"Duh enaknya yang udah resmi jadi simpenan anaknya bos.." Sri, asisten rumah tangga lainnya di rumah Bara dengan nada menyindir Dea. Saat itu, Dea memang sedang duduk santai di halaman belakang setelah dia membersihkan dan merapikan kamar Mario. Dia juga sudah mencuci baju, sehingga praktis tugasnya sudah selesai.

"Maksudnya gimana? Siapa yang jadi simpanan siapa?" Dea bukannya tidak tahu apa yang dimaksud oleh Sri. Telinganya sebenarnya sudah memerah menahan marah.

"Ya siapa lagi yang tadi udah dicium sama....."

"SRI!! Hati-hati kalau kamu ngomong! Saya pastikan Ningsih bukan wanita seperti itu!!" Bukan Ningsih yang membentak dengan nada keras. Lina yang membentak dengan keras asisten rumah tangganya itu. Lina tahu semuanya tentang Dea, makanya dia sangat marah ketika Sri mengatakan hal seperti itu.

"Maaf, nyonya.. " Sri tentu saja langsung diam. Dia tentu tidak akan berani melawan nyonya rumah.

"Ningsih, kamu ikut saya aja. Ada hal yang harus saya bicarain." Nada bicara langsung berbeda saat pembicaraannya mengarah kepada Dea. Nadanya langsung melembut saat lawan bicaranya adalah Dea. Menuruti perintah Lina, Dea lantas berdiri dan mengikuti Lina masuk ke rumah.

"Duduk dulu, kita ngobrol-ngobrol dulu ya." Lina memerintahkan Dea untuk duduk di sofa di ruang tivi. Dea dengan takut mengikuti perintah Lina.

"Iiyaa.. Nyonya"

"Kamu gak usah takut. Saya gak bakalan ngapa-ngapain kamu juga. Cuman pengen ngobrol aja." Lina menarik tangan Dea lalu mengelusnya pelan. Perasaan Dea semakin kacau. Setelah kemarin dan pagi ini Mario memperlakukannya dengan sangat berbeda, kini giliran Lina juga memperlakukannya bukan selayaknya pembantu atau asisten rumah tangga.

"Kamu memang aslinya dari mana? Dari jawa ya? Nama kamu itu kayak ada bau-bau nama jawa gitu. Tapi malah gak keliatan logat jawa kamu" Lina berusaha untuk masuk secara halus. Tidak mungkin Lina langsung menembak Dea dengan pertanyaan mengenai hubungan antara Dea dengan Mario.

"Saya aslinya dari Bandung. Ibu saya yang asli Bandung, tapi ayah dari Solo." Dea kali ini berkata jujur.

"Oh, pantas. Nama kamu ada kesan jawa-jawa-nya gitu." Lina masih memperlakukan Dea dengan lembut. Dea hanya membiarkan tangannya dipegang oleh Lina.

"Gini, Ningsih, Mario udah cerita semuanya ke mommy. Jadi kamu gak usah kaget ya sama kelakuan anak mommy itu." Lina menjeda sejenak penjelasannya.

"Kamu sendiri gimana sebenernya sama anak mommy? Hm? Ada rasa atau bagaimana?" Pertanyaan Lina mulai menyelidik. Dea semakin menunduk. Semakin tidak berani menatap tatapan lembut Lina. Dia tidak tahu harus menjawab apa.

"Jujur, mommy seneng banget kalau kamu memang bisa bersama dengan Mario. Ayah bundanya Mario juga sama. Kamu masih takut dengan Mario?" Dea mengangguk sebagai jawabannya.

"Mommy nanya ya. Tadi pagi, mommy sempet denger kalau kamu manggil Mario dengan abang. Bener?" Dea mengangguk lalu berkata

"Itu tuan Mario yang meminta, nyonya. Saya sebenarnya juga tahu kalau itu tidak sopan" Lina tersenyum dan menggeleng ketika mendapati jawaban Dea.

"Mario hanya mengijinkan orang-orang yang dekat di hatinya saja yang boleh memanggilnya dengan abang. Kalau sampai Mario minta kamu memanggilnya dengan abang, berarti dia menganggap kamu itu adalah orang yang khusus di hatinya. Dia udah menganggap kamu lebih dari sekedar asisten pribadi buatnya." Dea diam. Mencoba mengerti apa yang dikatakan oleh Lina. Setidaknya dia tahu sekarang jika Mario memang serius dengan ucapannya saat itu.

"Ya udah, kamu bisa pikirkan apa yang tadi mommy bilang ke kamu. Mommy gak akan memaksamu menerima anak mommy. Mungkin dengan cerita yang baru saja mommy kasih ke kamu bisa jadi pertimbangan buat kamu." Jika tadi Lina hanya memegang dan mengelus tangan Dea, tapi sekarang Lina malah membelai lembut rambut Dea. Perasaan Dea semakin bingung. Dia tidak tahu harus berbuat apa.

"Untuk saat ini saya masih belum tahu nyonya bagaimana perasaan saya kepada Tuan Mario. Apakah sekedar rasa kagum, rasa hormat, rasa terima kasih saya karena sudah diterima dan diperlakukan dengan baik di keluarga ini atau apa. Saya masih belum tahu nyonya. Itu sebabnya saya masih belum menjawab tuan Mario waktu itu." Jawab Dea dengan polos. Lina tersenyum mendengar jawaban polos Dea. Setidaknya ada sedikit harapan bagi Mario yang tersirat dari jawaban Dea tadi. Lina menangkap bahwa Dea sudah terdapat sedikit rasa terhadap Mario. Hanya perlu sedikit usaha agar rasa itu semakin terlihat.

"Udah ah, melow-melownya. Tadi Mario kan minta kamu belajar ikat dasi kan. Ayok sini mommy ajarin kamu gimana ngikat dasi yang benar dan rapi." Lalu dengan sabar dan telaten Lina mengajari Dea bagaimana membuat simpul dasi yang benar dan rapi. Di sela mengajari bagaimana membuat simpul dasi yang benar dan rapi, Lina masih dengan sengaja mengungkit dan menceritakan bagaimana perasaan Mario kepada Dea. Lina sendiri sangat menyukai gadis itu, dan melihat bagaimana respon Mentari dan Brian saat dia membawa Dea dan memperkenalkannya, dia yakin bahwa Brian dan Mentari juga memiliki pemikiran yang sama dengannya.

Vibrasi Cinta Mario (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang