Part 45

332 21 0
                                    

Karena ulah Mario yang menyebabkan ranjang di kamar Dea ambruk dan berujung kamar Dea yang menjadi berantakan, pagi ini baik Mario dan Dea bangun dengan badan pegal semua. Mereka tidak bisa tidur dengan nyaman dan tenang semalaman. Ditambah lagi Mario masih harus menenangkan Dea yang menghiasi malam pertama mereka dengan wajah yang cemberut.

Jam enam pagi, Mario dan Dea akhirnya turun untuk makan pagi. Rencananya resepsi hari ini akan dimulai jam 10 hingga jam 12 siang. Mario menggandeng Dea turun dari tangga. Punggung pegal dan kaki keseleo menyebabkan Mario sedikit tertatih untuk berjalan. Dia tidak bisa berjalan dengan cepat.

"Gimana bro semalam? Lanjut gak? Main berapa ronde sampe jalan aja kayak gitu?" Reynald sungguh iseng dengan pertanyaan konyol itu. Mario hanya mendengus kasar sementara Dea menunduk malu sambil menyembunyikan wajahnya di lengan Mario.

"Lo bisa gak cari topik lain?" Mario sebenarnya juga masih malu dengan insiden malam itu.

"Kayaknya bakal jadi trending topic deh bang. Everlasting juga kayaknya. Sayang dah Tian gak bisa ikut liatin gimana bang Iyok kemarin" Mario mendelik tajam ke arah Tian yang masih saja menggodanya. Jika saja ada alat untuk menghapus semua memori orang tentang kejadian malam itu, tentu dia sudah gunakan alat itu.

"Udah.. Udah.. Jangan godain Iyok gitu. Mendingan sekarang cepet makan trus kita siap-siap. Dea masih harus dirias lagi kan?" Mentari mencoba menengahi perdebatan itu. Dia tahu mood Mario tidak terlalu bagus hari ini karena insiden malam kemarin dan juga kakinya yang terkilir.

"Onal mana? Kok gak keliatan bun?" Entah mengapa, Mario justru menanyakan Ronald.

"Sama mommy kamu di kamar. Masih tidur juga. Jam segini kan masih jamnya dia tidur" Seharian kemarin Mario tidak bertemu dengan Ronald karena disibukkan dengan acara sakramen pernikahannya. Tiba-tiba pagi ini dia langsung teringat Ronald. Rasa kangennya tiba-tiba muncul ke Ronald. Jawaban singkat Mentari membuat lega Mario.

Sekarang Baik Mario maupun Dea sudah berganti busana untuk pesta resepsi pagi ini. Termasuk juga dengan Dewa, Anissa, Brian dan Mentari. Bara dan Lina memilih tetap berada di rumah karena tiba-tiba Ronald demam pagi tadi. Untung ada ada tiga dokter di sana sehingga Ronald bisa segera ditangani. Konsep pesta kali ini adalah pesta outdoor yang diselenggarakan di perkebunan teh milik Dewa. Udara sejuk pegunungan dan hawa yang segar lalu dipadu dengan suasana pesta yang semi privat menjadikan pesta pernikahan Mario dan Dea menjadi pesta pernikahan yang dengan nuansa alami namun tetap elegan dan mewah.

Senyum selalu terpasang di wajah Dea dan Mario. Wajah mereka selalu berbinar. Berada di panggung, membuat Dea dan mario bisa mengamati seluruh tamu yang datang pada siang itu. Mata Dea menyipit pada satu sudut di antara banyaknya tamu yang ada. Dia mengamati lelaki yang saat itu mengenakan baju seragam katering makanan. Lelaki itu berjalan dengan tidak tenang dan dengan mendorong troli yang biasa digunakan untuk mengambil piring dan gelas kotor. Dea melirik pada Mario, tampaknya suaminya itu masih belum menyadari hal janggal itu. Dea lalu menggenggam tangan Mario lebih erat, namun tetap, Mario masih belum paham akan isyarat itu.

Lelaki itu semakin mendekati area panggung, dan ketika sudah dekat, lelaki itu lalu mengeluarkan pistol yang sedari tadi disembunyikannya lalu mengarahkannya ke arah Mario dan Dea. Dea lalu menarik Mario ke arah belakangnya, lalu dengan sekali hentakan membuat Mario terjungkang ke belakang.

DOR...DOR...

Suara tembakan terdengar dua kali dan menumbangkan Dea seketika. Mario yang sadar bahwa apa yang dilakukan Dea itu untuk melindunginya, langsung bangkit berdiri dan mendekap Dea. Dijadikannya pahanya sebagai sandaran kepala Dea agar tidak terantuk pada lantai. Untungnya dari dua tembakan itu hanya satu yang mengenai Dea. Peluru itu menembus bahu Dea, menjadikan gaun warna putihnya menjadi berwarna semburat merah.

Sementara, saat lelaki itu ingin melarikan diri, Tian yang ada di sampingnya mengayunkan kruknya ke arah kaki lelaki itu dan membuat lelaki itu terjembab jatuh. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh beberapa bodyguard yang ada di sana. Segera mereka meringkus lelaki itu. Sementara beberapa bodyguard lain menyiapkan mobil untuk melarikan Dea ke rumah sakit.

"Dea... De... Kenapa justru kamu yang lindungin abang? MOBIL ... MANA MOBIL WOOII!!!!" Teriak kencang Mario. Segera satu mobil merengsek masuk bahkan menabraki meja kursi yang masih tertata di sana.

"Segera ke rumah sakit. CEPETAN!!" Perintah mutlak Mario. Mario memeluk Dea di pangkuannya dan menjadikan pahanya sebagai sandaran kepala Dea.

"Bang... aabbaangg gak apa-apa kan?" Tanya Dea pada Mario dengan terbata. Wajahnya penuh dengan keringat. Pias dan pucat, karena menahan sakit. Rintihan kesakitan yang tertahan sekarang terdengar dari Dea. Pegangannya pada lengan Mario semakin lama semakin melemah.

"Abang gak apa-apa.. Kamu..." Mario tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Lidahnya kelu saat melihat Dea seperti saat ini. Beberapa menit kemudian, sampailah mereka di rumah sakit. Tanpa menunggu waktu, Mario lalu menggendong Dea dan meletakkannya di brankar dorong. Dokter jaga lalu melakukan tindakan medis pada Dea.

"IYOK..."

"ABANG..."

"Bang..."

"NAK.."

Panggilan serempak dari Brian, Mentari, Dewa, Anissa. Mereka setengah berlari menghampiri Mario yang terduduk di lantai di depan ruang operasi. Di belakang mereka, nampak Reynald yang memapah Tian. Kruk yang tadi digunakan oleh Tian bengkok karena digunakan untuk menjegal lelaki yang tadi menembak Dea. Sekarang, Dea harus menjalani operasi untuk mengeluarkan peluru yang ada di bahunya itu.

"Dea masih di dalam, pa, ma, yah, bun. Udah sejam lebih. Tapi belum selesai juga" Ujar Mario masih terduduk di lantai. Mereka memilih diam. Tigapuluh menit kemudian pintu ruang operasi terbuka, lalu seorang dokter keluar. Mario dan yang lainnya langsung menyerbu dokter itu.

"Operasi berjalan lancar. Sekarang pasien ada di ruang pulih sadar. Segera sesudah sadar dan semua tidak bermasalah, pasien bisa dipindahkan ke ruang rawat inap." Keterangan dari dokter itu melegakan semua hati yang ada di sana.

"Dokter, saya berencana memindahkan perawatan istri saya ke Jakarta. Apa di rumah sakit ini ada fasilitas helipad?" Mario memang berencana akan memindahkan perawatan Dea ke Jakarta.

"Pemindahan pasien saya sarankan setelah pasien sadar sepenuhnya. Untuk fasilitas yang tadi bapak tanyakan, sepertinya ada pak. Ada di rooftop rumah sakit ini" Selesai menjelaskan itu, dokter itu segera berlalu.

"Pah, Mah, nanti sesudah Dea benar-benar sadar, Iyok akan bawa ke Jakarta buat perawatan yang lebih intensif. Iyok akan hubungin orang Iyok biar bawa heli aja. Kalau pakai jalan darat takutnya akan buat Dea gak nyaman"

"Iya. Gak masalah nak. Yang penting Dea bisa cepetan pulih lagi. Kami nanti ikut ya nak ke jakarta-nya" Kali ini Anissa yang bersuara. Dia masih belum bisa sepenuhnya tenang sebelum Dea benar-benar sembuh. Mario mengangguk ringan menanggapi permintaan Anissa.

"Leo, nama orang yang tadi menembak Dea. Dia dan Refan, ayahnya, yang sudah menipu papa hingga akhirnya papa kejebak hutang. Dia sudah terobsesi dengan Dea sejak dulu hingga dia merencanakan ini semua." Perkataan Dewa membuat Mario meradang. Marah dan emosi langsung menyerbunya.

"Papa jangan khawatir. Iyok tadi lihat kalo Tian dan orang-orang Iyok bisa beresin orang itu kok. Tenang aja pa. Biar masalah itu sekarang menjadi bagiannya Iyok" Mario berusaha meredam emosinya di depan Dewa dan Anissa. Perkataan Mario sangat dipahami artinya oleh Dewa.

Pesta pernikahan memang digadang-gadang sebagai salah satu peristiwa penting yang tidak akan terlupa sepanjang hidup. Mario mengalami itu. Namun, bukan kenangan indah dan manis. Justru kepingan tragedi yang membuat Mario ingin segera menggantinya dengan cerita indah.

Vibrasi Cinta Mario (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang