Part 20

417 24 0
                                    

Hari masih belum termasuk larut. Waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. Seluruh pekerjaan Dea sudah selesai. Dia memilih untuk masuk ke kamarnya. Pikirannya sedang menerawang, mencoba mencermati kembali apa yang sudah terjadi padanya beberapa hari ini. Ada banyak pertentangan hati di sana. Sebagai wanita biasa, tentu dia akan sangat berbinar jika mengetahui bahwa seorang pewaris tahta salah satu perusahaan besar ternyata menyimpan rasa padanya. Namun di sisi lain, dia juga sadar jika dia sudah melakukan kebohongan tentang identitasnya selama ini pada keluarga Bara. Apa jadinya jika mereka akhirnya tahu yang sebenarnya mengenai identitasnya yang sebenarnya. Dea sangat takut jika itu sampai terjadi. Dia sudah merasakan sangat nyaman bisa hidup dan bekerja di rumah Bara.

Dea terududuk sambil memandangi ponselnya. Ponsel yang dia sengaja matikan selama tiga bulan ini. Itu artinya sudah tiga bulan Dea memutuskan hubungannya dengan keluarganya. Tiba-tiba rasa sesak memenuhi dadanya. Teringat bagaimana kedua orang tuanya dan juga kakaknya saat dia dengan amarah yang besar langsung meninggalkan rumah dan meninggalkan keluarganya. Sebutir air mata turun perlahan. Pikiran Dea kalut. Dia ingin bercerita tentang semuanya. Dia juga ingin tahu bagaimana kedua orang tuanya dan kakaknya. Sehatkah mereka? Apakah mereka merindukannya? Atau malah mereka sudah melupakannya? Atau marahkah mereka karena Dea lari dari rumah?

Tangan Dea bergetar ketika mengaktifkan ponselnya. Sesaat setelah ponsel itu aktif, tidak terhitung berapa notifikasi yang masuk ke ponselnya itu. Tangisnya kini sudah tidak tertahan lagi. Rasa rindu, rasa bersalah bercampur jadi satu di hatinya saat ini. Tangannya masih bergetar saat dia memilih untuk mulai mendial salah satu kontak disana

"Paa...ppaaa...." Dea begetar saat panggilan telpon yang dilakukannya mendapat respon dari lawan bicaranya.

"Nak... ini kamu nak? Kkaammuuuu dimana nak? Kamuu sehat?" Dewa tidak kalah kagetnya ketika tiba-tiba Dea menelponnya. Suara gaduh terdengar dengan jelas di seberang sana. Dewa berteriak memanggil Anissa dan Devon.

"Bentar nak, ini papa panggil mama sama kakak kamu. Papa kerasin ya suaranya biar kita bisa denger semuanya" Dewa berucap dengan nafas terengah-engah karena harus berteriak memanggil istri dan anak sulungnya.

"Deaaa.. Naaakk.. ini mama nak... kamu dimana nak? Pulang ya nak. Pulang. Mama kangen nak"

"De... Kakak kangen De.. Kamu dimana de? Kakak jemput ya.."

Tumpah sudah airmata Dea. Kata-kata yang sudah tersusun dan ingin dia utarakan kepada Dewa hilang begitu saja. Mendengar bahwa semua orang yang dia kasihi semuanya mengkhawatirkannya membuat hatinya sedikit menghangat. Hilang satu kekhawatirannya.

"Nak... Papa minta maaf nak.. Papa gak pernah punya niat buat kamu menderita nak. Pulang ya nak. Masalahnya sudah selesai nak. Kamu gak perlu nikah sama Leo. Papa minta maaf nak" terdengar suara Dewa memohon di sana.

Dea terdiam ketika Dewa meminta maaf. Bukan. Ini bukan salah Dewa. Ayahnya itu juga korban. Ayahnya juga sama dengannya, sama-sama korban dari kelicikan dari Refan dan Leo. Tidak pantas jika Dewa meminta maaf padanya.

"Paa... " Bahkan Dea tidak sanggup untuk barkata-kata lagi. Yang bisa dia lakukan sekarang dia hanya diam dan menangis.

"Pulang ya nak. Pulang. Mama kangen pengen meluk kamu nak"

"Maaf pa, ma. Dea masih belum bisa pulang. Masih ada yang harus Dea selesaikan di sini. Papa, mama sama kak Devon gak perlu khawatir. Dea di sini sehat. Dea di sini kerja pa, ma."

"Kamu kerja apa nak?" Ada nada kekhawatiran dari Anissa. Dea baru saja lulus SMK, dia sebenarnya ingin melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.

"Dea jadi asisten pribadi. Tapi papa dan mama gak perlu khawatir. Mereka semua baik banget sama Dea. Dea seneng pa, ma. Ijinkan Dea kerja pa. Dea ingin bantu papa buat lunasin utang papa tanpa harus Dea nikah sama Leo."

"De, udah papa bilang tadi kalau masalah itu udah selesai. Kamu pulang ya nak."

"Maaf pa, kayak yang udah Dea tadi bilang kalau masih ada yang Dea selesaikan di sini. Dea janji pa, kalau setelah ini Dea gak akan matiin telpon lagi. Dea juga akan telpon papa dan mama. Kasih Dea sedikit waktu lagi pa" Maksud Dea menyelesaikan sesuatu adalah masalah hatinya. Dia ingin menyelesaikannya. Dia tidak ingin, jika harus meninggalkan hal yang membuatnya justru semakin kepikiran.

Seusai mengatakan hal itu, Dea lalu mengakhiri komunikasinya dengan keluarganya. Rasa kangennya sedikit terobati saat mendengar suara keluarganya dan terdengar baik-baik saja di seberang sana. Di saat yang bersamaan, dia juga merasa bersalah karena secara sepihak dia meninggalkan keluarga dan membuat keluarganya menjadi panik. Kombinasi rasa kangen dan bersalah itu membuat tangis Dea bukannya mereda, malah semakin menjadi.

Tanpa Dea ketahui, sebenarnya Mario ada di balik pintu. Awalnya, Mario meminta Dea untuk menemaninya makan malam. Namun, saat di carinya Dea tidak ada, maka dia lalu mencari Dea ke paviliun samping rumah utama keluarga Bara. Di paviliun itu, seluruh karyawan di rumah Bara mendapatkan tempat tinggal.

Tangan Mario sudah terangkat dan bermaksud mengetuk kamar Dea, namun saat mendengar tangisan Dea dan suara Dea yang sedang menelpon, Mario mengurungkan niatnya. Dia memilih diam dan berusaha mendengarkan semua yang Dea bicarakan. Beberapa saat, Mario kembali ke rumah utama dan berjalan menuju ruang makan. Sudah ada Bara dan Lina yang menunggunya di sana.

"Lha katanya mau sama Dea? Mana orangnya? Udah tidur?" Tanya Bara saat tahu Mario hanya berjalan seorang diri.

"Dea istirahat kayaknya pa. Iyok ketuk pintunya gak ada respon" Tentu saja Mario berbohong. Jika saja dia mengatakan bahwa dia mendapati Dea sedang menangis, tentu orang tuanya akan berpikir bahwa dialah penyebab Dea menangis.

"Kamu gimana sebenarnya sama Dea? Jujur sama daddy sama mommy. Jangan permainkan perasaan orang. Tingkah kamu tadi pagi sama Dea, bisa ditangkep beda sama Dea. Paham, nak?"

"Jujur dad kalau dulu emang Iyok akuin Dea buat pelarian Iyok dari rencana daddy sama ayah buat jodohin Iyok. Tapi, gak tahu kapan, Iyok jadi pengen kalau Iyok yang ada di hatinya Dea. Iyok pengen ngelindungin Dea. Iyok pengen jadi orang yang bisa ngapus air matanya Dea kalau dia nangis" Bara tersenyum mendengar jawaban Mario. Lega. Itu perasaan yang ada di hati Bara saat ini. Senyum juga menghiasi wajah Lina. Apa yang ditakutkan dari Mario ternyata tidak terbukti dan Mario membuktikan bahwa dia bisa memegang janji yang sudah diucapkan dulu.

Setelah menyelesaikan obrolannya, mereka bertiga lantas melanjutkan acara makan malam mereka. Bara dan Lina menyelesaikan makan malam dengan ringan dan santai. Pikiran dan perasaan mereka menjadi lebih tenang saat mendengar perkataan Mario tadi. Sebaliknya, pikiran Mario justru terfokus pada Dea. Mendengar Dea yang menangis, ingin rasanya dia mendobrak pintu kamar itu, lalu membawa dan menenangkan Dea dalam pelukannya. Ingin rasanya dia menangkupkan tangannya pada pipi Dea dan menghapus air mata dari wanita itu. Ingin rasanya membiarkan dadanya basah karena air mata oleh tangisan Dea.

Vibrasi Cinta Mario (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang