Part 26

382 23 7
                                    

Tangan Mario tidak pernah lepas dari Dea malam ini. Tangannya menautkan dengan erat namun lembut pada tangan Dea. Mereka kali ini menghadiri jamuan makan malam yang diselenggarakan secara rutin. Acara ini lebih bersifat pertemuan bisnis dengan skala besar daripada hanya sekedar jamuan makan malam saja. Kedatangan Mario yang mewakili Nusa Raya Group tentu menarik perhatian, ditambah dengan adanya Dea di sampingnya. Puluhan pasang mata dan kilatan blitz kamera langsung mengarah pada Mario dan Dea saat mereka melangkah masuk. Senyum selalu menghiasi wajah tampan Mario malam itu. Dea berusaha mengimbangi juga menampilkan senyum di wajahnya. Walaupun terasa kikuk dan kaku, namun dia berusaha untuk bisa tampil senatural mungkin.

Mario yang sudah terbiasa dengan acara seperti ini tentu dengan santai melangkah menuju tempat yang memang sudah disediakan untuk mereka. Mario segera bergabung di meja yang sebelumnya sudah ada Rendi dan Olive di sana. Sementara Dea hanya bisa mengekor kemana Mario pergi. Ini adalah acara besar pertama baginya. Sejujurnya dia risih juga. Tatapan dari berpuluh mata dan kamera yang terus menyorot mereka membuatnya sangat tidak nyaman. Bersembunyi di samping Mario adalah satu-satunya jalan yang bisa dia lakukan.

"Om, tante.. " Sapa Mario ringan. Mereka lalu saling bersalaman dan dilanjutkan dengan saling peluk. Saat Dea hendak bersalaman dengan mereka

"Malam juga Iyok. Gadis manis ini siapa? Calon kamu ya?" Tanya Olive hangat sambil dia bersalaman dengan Dea lalu dilanjut dengan cipika cipiki khas wanita sosialita.

"Ya ini yang bundanya Iyok cerita itu mah." Mario mengernyitkan keningnya. Bukan hal yang aneh jika Mentari berkomunikasi dengan Rendi, karena memang mereka adalah kakak dan adik.

"Emang bunda cerita apaan om?" Mario tentu saja penasaran. Apa saja yang sudah Mentari ceritakan soal hubungannya dengan Dea? Rendi tentu tahu secara langsung siapa dan bagaimana itu Dea. Pengambilalihan Penta Agri saat itu melibatkan Bank Surya dan itu berarti melibatkan Rendi juga.

"Banyaklah.. Ntar aja om ceritanya." Jawaban Rendi menyiratkan bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa didengar, entah itu oleh Olive atau oleh Dea. Mario hanya menganggukan kepala. Dia paham benar arti dari jawaban Rendi tersebut.

Mereka akhirnya kembali menikmati acara malam itu. Namun, tidak seberapa lama acara jamuan makan malam itu dimulai, tiba-tiba ponsel Mario berdering. Ternyata Bara yang menelponnya.

"Iya dad? " Sapa Mario dengan setengah bertanya kepada Bara.

"Ke rumah sakit sekarang ya. Mommy kamu mau lahiran. Ini daddy juga udah hubungi ayah bunda kamu." Mario yang awalnya dalam kondisi santai langsung panik seketika saat mendengar Lina mau melahirkan.

"Lha sekarang mommy dimana? Siapa yang jagain?" Tanya Mario dengan setengah berteriak menandakan dia panik. Duduknya yang tadi santai bersandar, sekarang langsung tegak, menandakan dia dalam kondisi yang panik.

"Mommy kamu ditungguin sama adek kamu. Feinya udah nyampai di sini. Masih nunggu bukaan juga. Masih belum lengkap. Ini daddy juga sama Tian kok" Jawab Bara di seberang sana.

"Oke dad, Iyok nyusul ke sana. Bilangin mommy jangan lairan dulu sebelum Iyok dateng ya. Iyok pengen yang pertama liat adeknya Iyok" segera sesudah berkata demikian, Mario memutuskan telponnya dan dia langsung berpamitan ke Rendi dan Olive.

"Om, tante, sorry gak bisa nemenin lebih lama. Mommy lagi mau lairan. Ini Iyok mau nyusul ke rumah sakit. Iyok sama Dea pamit dulu ya" Ucap Mario dengan sedikit tergesa.

"Waahh... Selamat ya.. Jadi kakak lagi.. Surya Nusa Hospital kan? Besok om sama tante ke sana deh" Olive turut gembira mendengar perkataan Mario. Mario hanya tersenyum dan mengangguk. Dia lalu mengarahkan pandangannya pada Dea yang juga sudah bersiap. Sesaat mendengar Lina akan melahirkan, dia juga panik sekaligus senang mendengarnya. Kedekatannya dengan Lina membuatnya sudah menganggap Lina sebagai ibunya sendiri.

Selang beberapa menit, Mario dan Dea sudah sampai di rumah sakit. Mereka masih mengenakan baju yang mereka kenakan saat di gala dinner tadi. Hanya bedanya, Dea sekarang mengenakan tuxedo hitam yang awalnya dikenakan oleh Mario. Waktu turun dari mobil, Mario melepas tuxedo hitamnya, dan kemudian mengenakannya pada Dea. Untungnya, di mobil Mario ada flat sandal, sehingga Dea bisa mengganti hi-heels yang digunakannya dengan flat sandal yang ada.

Mario langsung menghampiri Tian yang saat itu duduk sambil membaca komik.

"Daddy sama yang lain dimana? Katanya ada semuanya di sini?" Tanya Mario ke Tian.

"Ada di dalam semuanya bang. Lengkap. Ayah Brian, Bunda Mentari, Daddy, sama Fei juga ada di sana kok" Mendengar itu Mario langsung bergegas masuk. Namun, langkahnya dihalangi oleh perawat yang ada di sana. Mario tentu saja berang mendapati apa yang dilakukan oleh perawat itu.

"Biarin gue masuk. Gue pengen lihat mommy." Mario mencoba merengsek masuk namun perawat yang berjaga masih mencoba menghalanginya.

"Maaf, tapi nyonya Lina di dalam sudah didampingi....."

"GUA GAK MAU TAHU!!! LO GAK TAU SIAPA GUA!!!!" Bentak Mario. Emosinya memuncak saat perawat itu masih saja menghalangi jalannya untuk masuk ke ruang bersalin.

"Maaf pak, tapi ini perintah langsung dari pak Bara dan dokter Brian. Di dalam sudah ada tujuh orang. Jadi jika ketamban bapak, justru akan membuat sesak ruangan. Hal itu sangat tidak baik untuk nyonya Lina." Ujar perawat itu menjelaskan.

"Udah ya bang. Kita nunggu di sini aja." Dea mencoba menenangkan Mario. Tangannya mengelus pelan punggung Mario. Mencoba menenangkan Mario.

"Tapi de... "

"Udah, mommy kan udah ditangani langsung sama ayah kan. Bener juga kata perawat tadi. Kalau kita masuk malah ruangan jadi sesak dan akan membuat gak nyaman mommy" Ajaib. Dea bahkan berani memotong perkataan Mario. Lebih ajaib lagi Mario mau menuruti perkataan Dea. Dea lalu membawa Mario untuk duduk di ruang tunggu. Dia akhirnya memilih duduk di samping Tian. Semua hal itu tentu tidak lepas pandangan Tian.

"Tuh kan bener. Awalannya sih emang penasaran, jadinya kan ngebucin juga" Ucap Tian dalam hatinya.

"Udah, nunggu aja di sini bang. Bener yang Dea bilang, mommy udah ditangani sama ayah. Ada bunda dan Fei juga yang dokter. Abang bisa bantu dengan doa. Doain mommy bisa lancar lahirannya." Mario lalu menengok ke Tian yang disampingnya dan tersenyum. Tian mencoba menenangkan Mario. Akhirnya Mario bisa juga sedikit rileks.

"Gua cuman pengen liat adek gue pertama kali aja. Emang permintaan gue berlebihan ya? Sejak kecil gue gak punya temen main. Sekarang, keinginan itu terkabul. Gue seneng banget. Cuman itu doang yang gue minta" Secara tersirat, Mario menjelaskan mengapa dia sampai bertindak hingga sedikit di luar kendali tadi saat membentak perawat yang menghalanginya. Dea sekarang seolah melihat sisi lain seorang Mario. Bukan Mario yang seperti dia kenal selama ini. Sekarang, Dea masih mencoba menenangkan Mario.

Beberapa menit berlalu dan masih belum ada kabar dari ruang bersalin dimana Lina melahirkan. Mario sebenarnya sangat gelisah menunggu Lina melahirkan adiknya. Menghabiskan masa kecil sendiri dan masih juga diwarnai dengan leukemia yang dideritanya, membuat Mario sangat senang ketika dia mendengar bahwa Lina hamil dan dengan itu dia memiliki adik. Terlambat memang. Selisih usia Mario dengan adiknya sangat jauh. Bukan seperti kakak dan adik, justru lebih mirip ayah dan anak. Tapi, Mario tidak perduli itu semuanya.

Vibrasi Cinta Mario (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang