Pagi di rumah Bara. Walaupun ada keluarga Dewa yang bermalam di sana, namun tidak ada yang berubah. Semuanya berjalan seperti biasanya sampai Mario membuat sedikit keributan yang sangat tidak penting. Seperti biasanya, Mario selalu ingin bermain dengan Ronald. Pagi ini juga, tapi pagi ini Mario yang sedikit ceroboh menumpahkan kopi yang dia bawa ke Ronald. Untung saja kopi itu sudah dingin jadi tidak menimbulkan cidera atau luka bakar pada Ronald. Jangan ditanya bagaimana reaksi dari Bara dan Lina. Tapi memang Mario yang bebal, seolah tidak merasa merasa bersalah sama sekali, tetap saja dia mengusili dan menoel-noel pipi dari Ronald.
Jika tadi Mario masih bisa tersenyum bahkan masih bisa bermain-main dengan Ronald, tapi saat akan berangkat Mario berubah kesal.
"Bapak, ibu ada rencana hari ini?" Tanya Bara ramah kepada Dewa dan Anissa di sela acara makan pagi mereka.
"Belum. Kami belum ada rencana. Masih kangen-kangenan juga dengan Dea. Masih belum tuntas rasa kangen kami ke putri kecil kami" Jawab Dewa.
"Bagaimana kalau main ke pantai? Kebetulan opa-nya Mario ada rumah kecil-kecilan di tepi pantai. Kayaknya lebih enak di sana. Gimana?" Tentu saja Bara merendah dengan mengatakan rumah kecil-kecilan. Bukan rumah, lebih pada cottage peristirahatan yang ada di tepi pantai. Sejenak, Dewa saling berpandangan dengan Anissa. Mereka bingung mau menjawab apa. Mereka merasa tidak enak atas jamuan dan penerimaan dari keluarga Bara, namun untuk menolak mereka juga merasa sungkan.
"Gak perlu merasa sungkan. Sejak adanya Dea di sini, saya sudah menganggap Dea bagian dari keluarga kami. Demikian juga dengan bapak dan ibu." Bara seperti mengetahui keraguan yang ditampakkan pada wajah Dewa dan Anissa. Setelah berpikir sejenak, Dewa dan Anissa akhirnya mengangguk memberikan persetujuannya.
"HOREEE... Liburan... Liburan..." Lagi, ulah konyol Mario tentu membuat semua yang ada di sana melihatnya. Jangan lupakan kalau Mario sangat menyukai semua yang berbau laut.
"Yes.. Kita memang akan liburan. Kecuali kamu. Kamu masih harus ke kantor kan. Ini bukan hari libur." Jawaban dari Bara langsung membuat mood dari Mario langsung drop.
"Dadd...." Mario memohon dengan memelas. Tega-teganya Bara dan semuanya liburan tapi malah menyuruh tetap ke kantor.
"Iyok hari ini gak ada acara penting kok. Bisa di pending semuanya. Jadi, Iyok ikutan ya.. pleasee.." Mario kembali memohon. Kali ini dengan mengatubkan tangannya dan memohon kepada Bara.
"Daddy udah tanya Richard buat cek jadwal kamu. Hari ini kamu ada meeting dengan Persada Group kan. Kamu sama Reynald mau bahas soal pembangunan pabrik dan pergudangan baru kita di Bitung, Sulawesi Utara kan?" Mario langsung seperti orang cengo. Kenapa bisa sampai Bara tahu jadwal pekerjaan Mario dan kenapa juga Richard harus jujur mengatakan semua jadwalnya kepada Bara?
"Iyok bisa pending..........."
"Iyok, dengerin papa, biarpun Persada Group dan Reynald bukan orang lain bagi kita, tapi yang namanya pekerjaan ya harus profesional. Kamu gak bisa semau gue gitu juga. Kalau kamu hubungin Rey dan bilang mau pending, daddy yakin Rey juga gak akan marah, tapi sekali lagi daddy tanya, apa itu yang dinamakan profesional? Gak kan?" Bara mencoba memberikan pengertian kepada Mario. Dewa yang juga ada di sana, mengaku kagum akan sikap Bara. Tegas. Sangat pantas jika Nusa Raya Group bisa berkembang seperti sekarang saat ditangani tangan dingin Bara dan Mario.
"Iya.. Iya.. Iyok tahu." Mau tidak mau akhirnya Mario harus tunduk juga pada Bara. Wajahnya langsung lesu, membayangkan semua keluarganya bersantai di cottage keluarga dengan menikmati laut, sementara dia harus tetap bekerja di kantor.
"Udah, gak usah bete gitu. Habis kantor, kan bisa langsung nyusul." Lina akhirnya memberikan jalan tengah agar tidak terjadi keributan antara Bara dan Mario pagi itu.
"Beneran ya. Habis kantor Iyok langsung gabung" Mario menjadi bersemangat kembali karena masih bisa berkumpul bersama dengan keluarganya.
Pagi itu, akhirnya Mario berangkat ke kantor dengan perasaan yang tidak tenang. Memikirkan bagaimana bisa keluarganya bersenang-senang bersama sementara dirinya harus banting tulang bekerja mencari nafkah. Sesampai di kantorpun mood Mario masih acak-acakan. Siapa lagi korbannya kalau bukan Richard. Sekretaris dan assitennya itu suadah sangat terbiasa dalam menghadapi bosnya dengan segala tingkah polahnya.
"Lagi gak fokus? Atau mending kita pending aja meeting hari ini?" Tanya Reynald yang sekarang berhadapan dengan Mario. Meeting bisnis diantara mereka memang tetap dilaksanakan, tapi kali ini menyisakan Reynald yang sangat kebingungan menghadapi Mario. Bukan Mario yang seperti biasanya yang dia hadapi pagi ini.
"Eehhhheemmm...." Mario menggumam dengan menarik nafas panjang. Sejujurnya dia merasa bersalah juga. Bagi seorang pebisnis, waktu adalah hal yang sangat penting. Dengan dia tidak fokus meeting kali ini, itu sama saja membuang percuma waktu dari Reynald.
"Sorry, gue emang gak fokus. Tuh daddy bikin ulah pagi ini" Mario merubah pembicaraan dari yang awalnya resmi, menjadi informal. Reynald yang mendengar itu, lalu membuka kancing jas-nya dan menyandarkan diri pada sofa. Mencoba rileks setelah lawan diskusinya mengisyaratkan pembahasan menjadi lebih informal. Mariopun melakukan hal yang sama. mencoba lebih rileks. Bagas dan Richard akhirnya menutup agenda mereka karena pembahasan mengenai project telah selesai.
"Emang om Bara ngapain?"
"Mertua gue kan dateng dari Bandung. Trus daddy malah ngajakin ke cottage buat nyantai di sana. Gue pengen gabung tapi malah di sini disuruh kerja. Tahu kan gue seneng banget sama laut. Bete kan ya. Padahal bisa kan gue delegasikan ke bawahan gue."
"Just wait, mertua? Lo kawinan gak ngundang-ngundang? Wah bener-bener lo." Reynald terkejut saat Mario menyebut mertuanya datang dari Bandung.
"Bos gue belum nikahan, apalagi kawin. Ngehalu doang tuh kerjaanya" Celutukan spontan dari Richard dihadiahi lemparan pena dari Mario.
"Jadi ini yang dari tadi bikin lo gak fokus? Gue nanya berapa kapasitas mesin yang mau dipake, lo jawab udang bakar. Gue nanya buat power plant, lo pake PLN apa genset sendiri, lo jawab naik yacht. Jadi itu yang bikin lo gak fokus?" Pertanyaan dari Reynald, dijawab dengan anggukan malas dari Mario.
"Gini ya, saran gue. Gue pernah ada di posisi lo. Sama-sama suka sama cewek tapi gak ada kepastian. Tapi bodohnya gue dulu, gue gak mau pastiin gimana perasaan cewek itu ke gue. Ya, walaupun akhirnya dia tetep jadi istri gue sekarang sih. Jadi, saran gue, pastiin dulu gimana Dea ke lo. Trus, minta dia buat teges juga. Lo ngehalu sampe bilang mertua lo dateng, iya kalo jadi mertua beneran, lha kalo ternyata orang tuanya Dea gak setuju, lo bisa apa?" Reynald mencoba memberi nasihat ke Mario namun dengan santai.
"Soal apa yang dilakuin sama om Bara, kali aja om Bara niatnya buat ngetes lo doang. Masih inget kan cerita gue yang bokap gue bilang kalo gue mau dijodohkan sama kelakuan adek gue juga? Sebenernya bisa aja kan mereka bilang dari awal ke gue, tapi setelah dipikir, bener juga yang mereka lakuin waktu itu. Kalau sedari awal mereka bilang, mungkin gue gak tahu kalau sesayang itu gue sama istri gue. Gue juga mungkin gak tahu gimana berjuang buat sekedar narik perhatian istri gue. Coba liat dalam perspektif yang lebih luas" Lanjut Reynald. Mario terdiam dengan wajah serius, mencoba menelaah perkataan dari Reynald.
"Gue inget bener, waktu kejadian Tian, lo bisa tampil sebijaksana itu. Sedewasa itu. Cuman, sekarang, kalau dilihat, lo sedikit childish sih. No offense ya, tapi beneran itu yang gue lihatnya" ujar Reynald mengakhiri pertemuan mereka kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vibrasi Cinta Mario (Tamat)
RandomBerawal dari sebuah kesalahapahaman konyol, membuat Mario akhirnya bisa menemukan seseorang yang mampu menghiasi hari-harinya kembali. Cover by: Canva