Part 15

481 25 0
                                    

Jam sudah menunjukkan waktu untuk istirahat siang, namun masih tidak ada tanda-tanda dari Mario keluar dari ruang kerjanya. Bukan hal biasa bagi Mario yang memiliki ritme kehidupan yang teratur. Jam makan siang harus dipergunakan untuk mendapat asupan makan siang, jika tidak maka hal yang terjadi adalah asam lambungnya akan naik dan tentu saja dia tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat. Tidak mau jika hal itu sampai terjadi, Richard memberanikan diri mengetuk pintu ruang kerja atasannya itu. Karena tidak ada respon, dan pintu tidak dalam kondisi terkunci, Richard akhirnya memutuskan untuk masuk ke ruangan Mario. Richard mendengus kasar. Percuma saja dia mengkhawatirkan bosnya itu. Mata Richard sekarang menatap jengkel Mario yang makan siang dengan santai dengan bekal yang dia bawa dari rumah.

"Yaelah bos, ngomong atuh kalo emang ngebekel dari rumah. Abdi teh nungguin dari tadi" Mario yang sedang menikmati makan siangnya memicingkan matanya melihat ulah sekretarisnya itu. Dia sangat paham kalau Richard sedang menyidirnya dengan menggunakan dialek khas sunda.

"Nyindir lo? Gangguin orang lagi makan aja"

"Mana berani juga hamba yang hina dina ini menyindir sang sultan?" Richard kembali meyahut Mario, sementara Mario masih dengan santainya menikmati makan siangnya itu.

"Bos, gak ada niat gitu buat bagi tuh makanan? Kayaknya enak tuh bos. Mau habisin sendiri tuh makanan bos?" Richard memasang muka memelas saat sindirannya tidak mempan pada Mario.

"Lo biasanya juga makan siang di kantin sambil tebar pesona gak jelas gitu? Kenapa sekarang mau makan bekel gini?" Mario berucap sambil tetap mengunyah makannya. Richard merengut mendengar ucapan Mario. Lebih terdengar balasan sindiran buatnya.

"Ya kalau ini kan gratisan bos. Gak pake bayar, gak pake antri trus kayaknya enak tuh. Ikan pake bumbu acar, seger dah kayaknya" Jujur, Richard memang sangat tergiur dengan makanan yang tadi dimasak oleh Dea. Mario mendongakkan kepalanya melihat Richard. Batinnya ingin tertawa melihat wajah konyol sekretarisnya itu. Tapi berhubung menu yang dimasak sekarang adalah ikan, dan Mario sangat menyukai seafood maka dia tidak rela membaginya dengan Richard.

"Udah lo sono gih. Beli di kantin sono ato kemana gitu." Mario berkata sambil mengibaskan tangannya seolah memberi tanda kalau dia ingin Richard keluar dari ruangannya. Richard paham akan hal itu. Dia mendengus, sia-sia saja dia mengkhawatirkan atasannya tapi malah Mario dengan santai udah makan siang di ruangannya. Setelah berpamitan dia akhirnya keluar ruangan Mario dan segera ke kantin untuk mengisi perutnya yang sedari tadi sudah berteriak-teriak.

Jam istirahat makan siang sudah selesai. Richard masih duduk santai di kafetaria kantor. Suasana kafetaria sudah berangsur sepi. Masih ada beberapa orang memang yang ada di sana, tapi tidak seramai pada saat jam makan siang berlangsung. Richard mengeluarkan ponselnya dan melihat ulang jadwal dan agenda untuk Mario sekaligus membuka beberapa email yang tadi masuk. Ternyata ada beberapa undangan untuk Mario.

Selesai rehat dan makan siang, Richard lalu menuju kembali ke ruang Mario. Dia bermaksud untuk menginformasikan mengenai undangan untuk Mario yang tadi dia terima via email sekaligus menanyakan kesediaan Mario mendatanginya atau tidak.

"Gimana bos, udah kenyang?" Richard bertanya dengan sedikit sarkas. Tidak mungkin bekal sebanyak satu rantang habis dan tidak kenyang.

"Jelas dong. Dea enak juga masakannya. Kayaknya gak lama lagi dah" Jawaban melantur Mario membuat Richard bingung. Kalau memang masakan Dea sesuai selera Mario, lalu yang tidak lama lagi itu apa?

"Maksudnya apaan bos? Apanya yang gak lama lagi? Gak paham dah"

"Gak lama lagi, bakalan ada undangan nikahan. Trus di undangan itu tulisannya Mario Rachmadi dan Dea Rossa" Mario mengatakan itu sambil menerawang ke langit-langit ruang kerjanya. Seolah-olah membayangkan apa yang baru saja dikatakannya itu. Nada bicaranya menyiratkan keyakinan yang besar.

"WHAT?? SERIUSAN BOS??" Teriakan dari Richard dihadiahi pelototan tajam dari Mario. Untungnya ruang kerja Mario mempunyai desain kedap suara, sehingga apa yang dikatakan Mario dan teriakan heboh Richard tidak terdengar dari luar.

"Bentaran deh bos, emang bos udah nembak Dea? Udah ngomong gitu ke Dewa kalo mau kawinin si Dea?" Richard bertanya seperti itu karena dia yakin Mario pasti belum menyatakan perasaannya ke Dea.

"Hehehe.. Kalo itu belum.. Besok dah gue bilang ke dia"

"Trus juga sekalian terus terang gitu soal pengambilalihan Penta Agri? Udah siap gitu kalo si ayank Dea lari? Inget, kayaknya dia berbakat sebagai seorang pelari"

"Nah, itu juga yang bikin gue sampe sekarang belum bilang ke Dea soal perasaan gue. Tapi jujur nih ya Chad, gue tuh suka gak nahan kalo dia di deket gue. Sumpah dah, pengen gue kekep aja tuh anak. Gue takutnya khilaf"

"Saran nih ya, mendingan babang Iyok omong langsung dah ke ayank Dea. Daripada ntar kalo udah kelamaan malah berabe"

"Lo manggil Dea biasa aja knapa? Gak usah pake ayank gitu! Gue aja yang ntar jadi suaminya manggil dia masih Ningsih kok" Mario sewot setelah sadar jika Richard dari tadi menggodanya dengan memanggil Dea dengan sebutan ayank Dea.

"Ya wes dah.. Gak pake ayank Dea" Mario tersenyum mendengar itu. Baginya hanya dia yang boleh memanggil Dea dengan panggilan sayang.

"Bos, nih ada undangan gala dinner buat minggu depan. Dateng gak?" Richard lalu menyerahkan undangan yang tadi dikirim via email ke Mario.

"Di sini tulisannya berdua. Masak gue datang sama lo. Ntar orang beneran mikir kita belok lagi kayak kemarin?" Undangan gala dinner tersebut memang mengisyaratkan untuk berpasangan. Biasanya, Mario memang akan bersama dengan Richard, tapi kesalahpahaman yang terjadi kemarin membuat Mario harus berpikir lagi jika ingin mendatangi acara itu bersama dengan Richard.

"Ya udah, sama dedek Dea kan bisa bos" Mario menatap tajam ke Richard setelah Richard memanggil Dea dengan menambahi "dedek". Dia tidak suka.

"CHAD!! Manggilnya biasa aja, gak usah pake ayank, dedek atau apapun!!" Jujur Richard ingin tertawa melihat posesifnya Mario pada Dea. Tampaknya kini ada satu lagi bahan buat Richard untuk menggoda Mario.

"Trus?"

"Trus apaan?"

"Ya trus, bos dateng gak acara gala dinner itu? Saya harus kasih konfirmasi ke penyelenggara juga bos" Richard jengah juga. Tumben juga Mario ini lemot pikirannya. Pebisnis dan atasannya itu biasanya bisa berpikir cepat dan strategis. Apa karena jatuh cinta jadi lemot gitu?

"Hmm.. Okelah gue datang. Hm, menurut lo kalo gue dateng sama Dea, masalah gak?"

"Jelas masalah bos. Sorry nih bos, bukannya bermaksud gimana atau apa. Yakin dah kalau Dea gak punya gaun dan semuanya. Gak mungkin juga kan dateng pake baju seadanya. Trus, masalah table manner, gimana? Salah-salah bisa bikin malu di sana."

"Kalau masalah manner, gue yakin dia bisa bawa diri. Dari yang gue liat sih, dia akan cenderung diam kalau gak tahu. Kalau masalah baju, kayaknya tinggal bawa ke butik aja." Mario masih yakin dengan pilihannya.

"Then, go head" ujar Richard ringan. Dia lalu meninggalkan ruangan Mario setelah mengetahui keputusan dari Mario yang akan mendatangi acara rutin yang dihadiri oleh pebisnis papan atas seluruh negeri.

Seharusnya, setelah memutuskan hal tersebut, Mario lega. Namun beberapa ucapan Richard tadi terutama tentang pernyataannya perasaannya ke Dea membuat dia kembali membimbang hati. Lebih sulit bagi Mario untuk mau jujur secara langsung pada Dea dibandingkan dia harus menghadapi langsung klien perusahaan yang paling menjengkelkan sekalipun.

Vibrasi Cinta Mario (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang