Dua tahun pernikahan Mario dan Dea. Karakter Mario yang keras, tanpa kompromi namun akan berubah menjadi lembut dan penuh perhatian saat menghadapi kepolosan dan sifat Dea yang manja. Perpaduan dua sifat yang tampak bertolak belakang itu nampaknya menjadikan pernikahan yang mereka jalani menjadi fase yang menyenangkan untuk mereka jalani. Mereka berdua bahagia. Sangat bahagia. Lengkungan senyum tidak pernah hilang dari bibir Mario maupun Dea.
Mario dan Dea kali ini ada di rumah sakit tempat Brian bekerja. Ada Mentari juga di ruang itu. Sudah dua tahun pernikahan Mario dan Dea, namun Dea belum menunjukkan tanda kehamilan. Awalnya Mario dan Dea bersikap santai saja karena di pre marital check up, mereka berdua dinyatakan tidak ada masalah. Mungkin hanya masalah waktu saja hingga mereka belum dikaruniai seorang momongan. Namun, karena penasaran mereka berdua akhirnya memeriksakan diri. Dea diperiksa oleh Brian yang memang dokter kandungan, sementara Mario sudah berkonsultasi dengan spesialis andrologi.
"Oh iya mas, aku ke ruangan periksaku dulu ya. Ada status pasien yang belum aku isi tadi. De, ikut bunda yuk. Temenin bunda. Jam segini asisten bunda udah balik. Yuukk.. " Mentari beranjak lalu menarik halus tangan Dea. Sekilas, Dea melihat ke Mario meminta ijin. Setelah mendapat anggukan dari Mario, dua wanita itupun beranjak dari ruangan Brian.
"Yah, kenapa sampai Dea gak boleh melihat hasilnya? Apa ada yang salah dari Dea, yah?" Sikap Mentari yang minta ditemani hanya untuk ke ruangannya menimbulkan kecurigaan dari Mario. Sebelum Mentari mengajak Dea, dia juga melihat Brian seperti memberi kode ke Mentari. Mario bisa membaca semua itu.
"Ayah udah dapat hasil pemeriksaan kamu dari dokter andrologi yang memeriksa kamu. So far, kamu gak masalah. Kamu sehat-sehat aja."
"Ada masalah dengan Dea?"
"Ini yang mau ayah diskusikan sama kamu. Setelah memeriksa Dea beberapa hari lalu, plus baca riwayat kesehatan dari Dea, ayah menarik simpulan awal, siklus menstruasi yang tidak normal dari Dea dan juga Dea yang sering mengangkat barang berat, itu yang membuat Dea susah untuk hamil, walaupun secara reproduksi dia memang subur"
"Bentaran yah, Dea gak ikut fitnes atau kerja yang berat-berat gitu. Mana mungkin juga Iyok biarin Dea angkat-angkat beban berat"
"Awalnya ayah mikir yang sama dengan kamu. Ayah sangat tahu gimana kamu menjaga Dea. Kita kelupaan kalau Dea lulusan sekolah kuliner. Peralatan memasak yang memang standar dunia kuliner profesional gak ada yang ringan. Waktu mengangkat peralatan masak itu, secara tidak langsung Dea akan menggunakan otot di bagian perutnya, dan ini akan berdampak pada rahumnya. Saat memasakpun Dea harus berdiri dalam jangka waktu lama." Brian kemudian menjelaskan dengan lebih detail kepada Mario.
"Ayah coba konfirmasi ke Tian soal ini, dan memang dia membenarkan kalau dunia kuliner gak seperti keliatannya. Butuh fisik yang bener-bener prima untuk bisa bertahan di dunia kuliner. Ayah sempet nanya juga ke Tian, bahwa di dapur, Dea udah di back up sama asisten dan helper tapi sepertinya itu masih belum cukup."
"Trus menurut ayah, Iyok harus gimana? Kuliner dan dapur itu dunianya Dea. Iyok ijinin Dea masak di restonya Tian karena kalau gak Iyok ijinin Dea sendirian di apart. Bisa-bisa Dea kesepian sendirian di apart."
"Kalau kamu takut Dea kesepian pas kamu batasin kegiatannya, kamu bisa tinggal di rumah ayah. Dea bisa main sama Mitha, bisa juga ngobrol sama Feinya pas kamu ke kantor. Kamu bisa juga tinggal di tempat daddy kamu. Di sana Dea bisa main sama Onal kan? Tapi ya jangan langsung kamu stop gak boleh masak juga. Perlahan ngomongnya." Mario mengangguk. Sepertinya dia memang harus melakukan itu. Hanya saja dia bingung untuk mengatakan hal itu semuanya pada Dea.
Ceklek...
Pintu terbuka membuat Brian dan Mario langsung memusatkan penglihatan mereka pada pintu ruang periksa Brian. Mentari dan Dea masuk. Mereka lalu bergabung dengan Brian dan Mario.
"Kita makan yuk. Keluar gitu kemana. Bunda tadi gak masak, jadi kita siang ini makan di luar aja ya" Tanya Mentari kepada Brian dan Mario.
"Bunda, kita ke tempat kak Fei aja. Dea pengen main sama Mitha. Ntar kalau kak Fei-nya gak masak atau gimana, biar Dea aja yang masak di sana. Boleh ya?" Mario dan Brian saling berpandangan. Baru saja mereka berdua berdiskusi tetang bagaiman membuat Dea tidak terlalu capek dengan aktivitas di dapurnya, tapi kini dengan tatapan mengibanya Dea meminta untuk memasak.
"Oh iya, tadi hasilnya pemeriksaan Dea gimana yah? Dea ada sakit gitu yang bikin Dea gak bisa hamil?" Tanya Dea seolah sadar bahwa tujuan utama mereka ke sini adalah melihat hasil pemeriksaannya.
"Gak masalah De. Setelah ini terapi hormon ya buat stabilkan siklus menstruasi kamu jadinya kita tahu kapan masa subur kamu. Trus yang penting sih, kamu gak boleh capek, gak boleh stres." Brian mencoba menjelaskan pada Dea. Dea lalu mengangguk saja mendengar penjelasan dari Brian. Mario hanya tersenyum sambil tetap terus menggenggam tangan Dea. Menandakan dia menyetujui apa yang dikatakan oleh Brian.
Malam ini Brian Mentari, Tian Feinya dan Mario Dea berada di rumah Tian. Mereka berencana untuk makan malam bersama. Setelah dari rumah sakit, mereka mampir dulu terlebih dulu ke supermarket. Kini, mereka sudah berada di ruang tengah rumah Tian. Feinya yang disibukkan dengan Paramitha Putri Utami, anaknya yang sangat aktf.
Tian, Brian dan Mario sedang duduk santai sambil nonton tivi. Sementara Dea dan Mentari sibuk di dapur.
"Bang, ngapain itu wajah kusut?" Tian mencoba membuka percakapan diantara mereka. Selain itu, sedari tadi kakak iparnya masuk ke rumahnya, wajahnya tampak tidak bersemangat. Mario bisa menutupi dengan senyumnya, namun siapapun yang mengenalnya dengan dekat pasti mengetahui jika ada sesuatu dibalik senyum Mario.
"Gua bingung. Hasil pemeriksaan dari ayah udah keluar. Rekomnya Dea harus membatasi kegiatannya termasuk kegiatan di dapur. Lha lo sendiri tahu gimana exicited-nya dia kalau udah di depan kompor. Mau gua larang tapi itu salah satu sumber kebahagiaan Dea, gak mau gua larang, gak munafik juga gua pengen cepetan punya anak. Iri gua sama lo semuanya yang udah sibuk sama bocil-bocil lo" Mario seolah mengungkapkan keresahannya.
"Bang, pas kemarin nikahin Dea, tujuan utama abang apaan?" Pertanyaan singkat dari Tian membuat Mario mengernyitkan keningnya. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Mario terdiam tidak bisa menjawab. Tian lalu meneruskan perkataannya.
"Bang, kalau tujuan cuman buat keturunan, sebenarnya simple. Abang tinggal hamilin aja sembarang cewek trus anaknya yang otomatis adalah anak abang, tinggal abang ambil. Gampang kan?" Mario semakin bingung dengan perkataan dari Tian. Bukan hanya Mario, tapi Brian yang ada di sana juga masih belum tahu arah perkataan Tian.
"Bingung ya? Gini Tian jelasin. Tujuan utama menikah adalah untuk kebahagiaan kan? Anak memang menjadi kebahagiaan dalam pernikahan tapi bukan satu-satunya sumber kebahagiaan kan?" Tian menjeda penjelasannya.
"Tian cuman pengen bilang, kalau abang tuh gak perlu lah ngiri hanya karena belum dikasih sama Tuhan. Mungkin emang Tuhan pengen abang lebih kenal dulu sama Dea atau gimana. Bahagia dulu bang. Lalu berserah sama Tuhan. Itu yang dulu Tian lakuin."
Perkataan Tian membuat Mario berpikir keras. Apa mungkin selama ini Dea kurang bahagia dengannya? Apa mungkin selama ini dia masih belum mengetahui tentang istrinya itu? Apakah yang selama ini sudah dia berikan pada Dea masih kurang?
"Gua cuman bingung gimana harus bilang ke Dea." Mario mengatakan itu sambil matanya menerawang langit-langit.
"Ayah, gak apa-apa ya kalau misal ntar Iyok balik lagi ke rumah ayah. Gak ngerepotin kan yah?" Mario berkata sambil memandang Brian. Brian tersenyum ringan lalu mengangguk. Bagi Brian, hal itu tidak merepotkan sama sekali.
"Lo juga, gak masalah kan misal ntar Dea sering ke sini. Maen sama Feinya atau sama Mitha?" Setelah mendapat persetujuan dari Brian, kini pandangan Mario beralih pada Tian. Reaksi yang sama ditunjukkan oleh Tian. Dia hanya mengangguk mengiyakan permintaan sederhana dari Mario.
"Thank you....."
"That what a family for...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Vibrasi Cinta Mario (Tamat)
RandomBerawal dari sebuah kesalahapahaman konyol, membuat Mario akhirnya bisa menemukan seseorang yang mampu menghiasi hari-harinya kembali. Cover by: Canva