Part 46

323 20 0
                                    

Setelah Dea siuman pasca operasi pengangkatan peluru, Dea segera dipindahkan ke ruang rawat inap. Tapi itupun tidak berlangsung lama. Hanya semalam saja Dea ada di rumah sakit itu. Pagi ini, sebuah helikopter dengan desain medical air transport sudah siap membawa Dea langsung menuju Surya Nusa Hospital. Dalam hitungan menit, Dea sudah berada di ruang rawat inap Super VIP di rumah sakit milik keluarga Bara dan keluarga Surya itu.

"Baanng.. Haus" Mario yang berada di samping brankar Dea dengan sigap mengambil gelas berisikan air putih lalu mengarahkan sedotan di gelas itu ke mulut Dea. Setelah beberapa teguk, Dea lalu mengisyaratkan cukup. Mario meletakkan kembali gelas itu di nakas sebelah brankar Dea.

"Malam ini mau makan apa? Hm..? kamu kayaknya gak terlalu nafsu makan gitu. Ntar kalau gak makan bakalan lama sembuhnya." Tanya Mario kepada Dea. Wajah Dea langsung berbinar mendengar tawaran Mario. Semenjak di rumah sakit Bandung, selera makannya langsung hilang karena harus mengkonsumsi makanan rumah sakit yang rasanya sungguh kurang enak. Cenderung hambar dan tidak menggugah selera makan.

"Sate ayam boleh bang?"

"Pake nasi apa lontong?"

"Lontong aja bang. Pake bawang yang banyak ya bang.." Mario hanya tersenyum dan mengangguk. Memenuhi permintaan istrinya, Mario segera menelpon pada katering rumah sakit untuk menyiapkan pesanannya.

"Udah abang pesenin, tapi gak pake sambel sama cabe ya dulu ya." Dea hanya mengangguk mengiyakan perkataan dari suaminya. Tak masalah jika tidak terlalu lengkap, yang penting dia bisa makan dengan lebih enak.

Selain Mario, ruangan itu juga terdapat Brian, Bara dan juga Dewa. Namun, sekitar jam sembilan malam mereka akhirnya pulang dan meninggalkan Mario untuk menjaga Dea.

"Gimana De, masih sakit gak pundaknya?" Tanya Mario sambil memandang bahu kiri Dea yang masih terbebat oleh perban dan meninggalkan bercak darah berwarna merah kecoklatan di perban itu.

"Kadang masih nyeri sih bang. Kadang juga ilang nyerinya. Kalau digerakinnya ke belakang, gak nyaman gitu rasanya" Dea menjelaskan apa yang dirasakannya saat ini.

"Ayah sih tadi bilangnya kalau kamu gak demam berarti semuanya baik-baik aja. Kalau soal nyeri, kata ayah ntar akan berangsur membaik waktu luka operasinya menutup. Maafin abang ya de. Abang gak bener jagain kamu." Tangan kanan Dea lalu terulur untuk menggapai wajah Mario.

"Kita saling jaga ya bang. Abang jagain Dea, sama, Dea juga akan jaga abang." Mario menghangat mendengar apa yang dikatakan oleh Dea. Tidak salah dia memilih pendamping hidup. Diraihnya tangan Dea, diggenggamnya erat dan sesekali diciumnya tangan Dea. Ada sedikit sesal di Mario saat bagaimana awalnya di berprasangka buruk pada Dea dan semuanya itu tidak terbukti. Mereka lalu menghabiskan waktu dengan menonton tayangan film di tivi.

"Hooaaammm...." Dea tampaknya sudah mengantuk. Dia menguap lebar. Sesudah menghabiskan sate ayam dan kemudian minum obat untuk malam, Dea lalu merasa mengantuk.

"Ngantuk? Udah tidur aja. Obatnya emang ada penenangnya sih, biar kamu bisa istirahat dan cepet sembuhnya" Mario lalu membantu Dea untuk mendapatkan posisi tidur yang nyaman. Selimut yang awalnya terlipat, kini sudah menutupi tubuh Dea hingga hampir lehernya.

CUP..

"Met bobok, sayangnya abang..." Ucap Mario setelah mencium kening Dea. Lalu tangannya membelai lembut wajah Dea. Pipi Dea langsung merona mendapat perlakuan itu. cepat-cepat dia menutup matanya untuk mengurangi rasa malunya. Kekehan dari Mario masih terdengar di telinganya.

Jarum jam sudah menyatu di angka duabelas, tapi Mario sama sekali belum tidur. Dia memilih menonton tivi walaupun tanpa volume dan menikmati kopi pahit yang bahkan sudah dingin. Dea sudah terlelap. Sunyi dan sepi. Itu keadaan ruang rawat inap Dea saat ini.

Drrtt.. Drrttt..

Nada getar ponsel Mario mengalihkan perhatian Mario dari tayangan televisi. Segera digesernya ikon warna hijau untuk menjawab panggilan telpon itu.

"Ya..."

"Basement, baby blue, tempat biasa"

Beeepp...

Setelah mematikan telponnya, Mario lalu mengenakan jaket kulit hitam pekat miliknya. Langkah kakinya mengarahkannya pada pintu di ruang rawat inap Dea. Mata Mario melirik sekilas Dea yang sudah terlelap tidur dan kemudian tangannya meraih handle pintu. Kaki Mario terus melangkah menuju lift dan berlanjut pada basement. Di tempat parkir VIP miliknya sudah ada satu racing motor sport berwarana biru. Diraihnya helm itu dan dikenakannya helm hitam pekat itu, lalu Mario menyalakan motornya.

Jalanan kota sangat sepi dini hari ini. Hanya ada beberapa pekerja malam yang sesekali melintas. Dua motor sport terdengar meraung membelah sunyinya dini hari. Dua motor sport itu akhirnya berhenti pada satu pergudangan yang terletak di daerah pelabuhan. Sepi, sunyi, lampu penerangan yang remang, bau amis khas pelabuhan ikan tradisional adalah gambaran dari lokasi yang didatangi Mario.

Mario segera turun dari motor sportnya sementara lelaki yang mengendarai motor sport yang sedari tadi berada di sampingnya juga melakukan hal yang sama.

"Bos.." Ucap Richard setelah dia membuka helm dan meletakkannya di sepeda motornya. Mario yang mendengar itu, hanya berdehem saja.

Mereka berdua berjalan menuju salah satu gudang. Membuka pintu gudang itu. Kedatangan Mario dan Richard langsung disambut sikap siap oleh beberapa bodyguard di sana. Mario tersenyum sinis dengan tampilan yang ada di depan matanya. Seorang lelaki dengan tangan yang dirantai ke atas. Terlihat lemah dan dia menutupkan matanya. Leo. Lelaki itu adalah Leo

"Bangunkan dia! Gue pengen main-main sebentar!" Perintah Mario tegas

BYUR....

Tanpa menunggu waktu, seember air diguyurkan dan itu membuat Leo itu membuka matanya.

"Arrgghh... Arrggh.... Hmmpppphh" Leo hanya bisa menggeliat. Tubuhnya sudah lebih dari lelah menghadapi brutalnya bodyguard Mario dan sekarang dia berhadapan langsung dengan Mario. Mulut yang terbungkam oleh kain kumal membuat apapun yang dikatakannya tidak bisa terdengar dengan jelas.

BUGH.... BUGH.. BAM.. DUK..

"ARRRRGGGHHH... AAAAAHHHH..."

"ANJING LO!! MAU LO APAAN? HAH?"

BUGH... BUGH..

"Ini gua bawain hadiah dari ISTRI gua"

BUGH... BUGH..

Tanpa menunggu lama, Mario menjadikan Leo sebagai sansak hidup. Sudah tidak terhitung berapa kali pukulan dan tendangan dia layangkan kepada Leo. Tampilan Leo saat ini sudah tidak berbentuk lagi. Lebam, luka, bengkak menghiasi seluruh bagian tubuh Leo tanpa kecuali. Setelah puas, Mario lalu melirik ke Richard yang berdiri di sebelahnya.

"Chad, giliran lo. Abis itu lo beresin!" Mario melirik kembali jam tangannya dan kemudian memilih untuk meninggalkan gudang itu dan kembali ke rumah sakit.

"With my pleasure bos..." Richard membuka jaketnya, meregangkan sebentar otot-otonya, dia tersenyum dengan senyuman yang sinis ke Leo lalu diapun melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh Mario kepada Leo. Mario dan Richard sama-sama beringas kali ini. Jika melihat keseharian mereka, sangat sulit dipercaya bahwa mereka bisa seberingas seperti sekarang ini. Ketampanan dan senyum yang biasa mereka tebarkan sama sekali tidak nampak dini hari ini.

Vibrasi Cinta Mario (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang