Penunjuk waktu saat ini sudah menunjukkan pukul satu siang. Jam istirahat siang sudah usai. Sesuai rencana, Mario mengajak Dea untuk menemui Brian dan Mentari. Mario langsung melajukan mobilnya dengan menuju rumah Brian. Butuh setidaknya hampir satu jam untuk sampai di rumah Brian. Sampai di rumah Brian, satpam langsung membuka dan menyambut dengan ramah begitu tahu jika Mario yang datang. Namun ternyata Brian dan Mentari tidak ada di rumah. Mungkin mereka masih berada di rumah sakit. Mario memilih untuk santai di halaman samping rumah, menikmati angin yang berhembus sore itu. Cuaca saat itu mendung, sehingga tidak terlalu panas udaranya.
Selang setengah jam kemudian, Brian dan Mentari pulang dari rumah sakit. Mereka tidak kaget dengan kedatangan Mario, hal itu sudah sangat biasa di rumah mereka. Yang menjadi kekagetan mereka adalah siapa yang bersama Mario saat ini. Mario saat itu sendang duduk sambil memejamkan matanya seolah sedang menikmati semilir angin sore itu. Dea saat itu duduk di sampingnya, menikmati aneka tanaman yang tertata dengan rapi di sana.
"Kamu itu kalau mau tidur, sana ke atas. Ke kamar sana. Jangan tidur di sini." Brian menepuk pundak Mario sekaligus menyadarkan Mario. Bukan hanya Mario yang sedikit kaget dengan kehadiran Brian, tapi Dea juga.
"Iyok gak lagi tidur. Cuman meremin mata doang, yah. Bunda mana yah?" Tanya Mario pada Brian yang baru saja pulang dari rumah sakit. Brian lalu mengambil tempat duduk di samping Mario.
"Biasalah, bunda kamu langsung ke dapur. Begitu liat mobil kamu, langsung mau masak udang. Tadi kebetulan sebelum balik rumah, mampir dulu ke supermarket." Mendengar bahwa Mentari ada di dapur, Dea langsung berdiri. Ada kesempatan buatnya untuk "melarikan diri" dari situasi yang rumit baginya. Jika tetap di sana, berada diantara Mario dan Brian, maka dirinya hanya akan seperti patung.
"Abang, Ningsih ke dapur dulu ya. Mau bantu tante masak" Pamit Dea pada Mario. Anggukan dari Mario cukup melegakan bagi Dea. Setidaknya dia bisa lepas dari sana walaupun hanya beberapa saat saja.
"Abang? Apa ayah melewatkan sesuatu?" Brian bertanya penuh selidik pada Mario. Sejujurnya dia sangat kaget saat Dea memanggil Mario dengan abang, dan juga Mario yang selalu tersenyum sejak tadi.
"Iyok udah nyatain perasaan Iyok, yah. Cuman memang Dea belum bisa kasih jawaban. Iyok juga kasih waktu buat Dea mikir buat jawab perasaan Iyok" Mario menjelaskan dengan singkat ke Brian.
"Just in case, kalau dia nolak gimana?" Pertanyaan lanjutan dari Brian.
"Iyok yakin kalau Dea bakalan jawab iya. Tapi kalaupun Dea gak mau, ya udah. Iyok akan lepas. At least Iyok udah nyatain kan. Ini juga Iyok coba deketin Dea ke keluarga Iyok" Mario menjawab Brian dengan penuh rasa percaya diri bahwa Dea pasti akan menerimanya.
Brian tersenyum. Sejak awal, mereka juga sudah tidak mempermasalahkan dengan siapa Mario akan berdampingan.
Mentari terkejut ketika dia mendapati Dea yang tiba-tiba ada di sebelahnya. Mentari yang saat itu ditemani oleh asisten rumah tangganya sedang menyiapkan makan malam.
"Ningsih boleh ikutan bantu gak tante?" Ujar Dea sopan. Mentari yang terkejut lalu mendongakkan kepalanya. Ternyata ada Dea di sana.
"Lho, ada kamu. Tante pikir Iyok sendirian ke sininya. Iyoknya mana, nak?" Mentari tidak menjawab pertanyaan dari Dea, dia malah balik bertanya pada Dea.
"Abang sama om ada di teras samping, tante. Lagi ngobrol. Ningsih boleh ya bantu masak, tante" Mentari tersenyum saat Dea memanggil Mario dengan sebutan abang. Setelah ini, dia harus meminta penjelasan lebih dari Mario.
"Boleh kok. Kebetulan Iyok pernah cerita kalau masakan kamu tuh enak. Kebeneran kalau mau bantuin tante masak. Tante juga pengen makan masakan kamu. Yuk ah, kita masak" Tidak menunggu waktu lama, kedua wanita itupun langsung menyibukkan diri di dapur. Mentari mengamati dari dekat bagaimana dengan cekatannya Dea saat menangani dapur. Tangannya begitu terampil menggunakan semua peralatan dapur yang ada. Mentari tersenyum. Pantas jika Mario akhirnya menjatuhkan pilihannya pada gadis di depannya itu. walaupun tidak pernah mengutarakan langsung, namun dari obrolan yang sering mereka lakukan, Mentari paham betul jika Mario menginginkan sosok wanita yang bertipe rumahan. Seorang wanita yang mampu menangani urusan rumah tangganya dengan sentuhan wanita.
Waktu makan malampun tiba. Mereka berempat kini tengah berkumpul di meja makan. Awalnya Dea menolak bergabung dengan mereka. Menurutnya, dia tidak pantas, mengingat dia hanyalah seorang asisten rumah tangga saja. Namun Mario tetaplah Mario. Dia memaksa Dea untuk bergabung dengan mereka untuk makan bersama malam itu. Brian dan Mentari juga tidak keberatan dengan adanya Dea bersama dengan mereka.
Selesai makan malam, mereka bersantai di beranda belakang rumah. Bersantai dengan menikmati secangkir teh hijau dan beberapa kudapan manis. Hembusan angin malam sesudah hujan yang sejuk ikut menemani malam mereka.
"Mommy kamu sehat kan? Kandungannya gak kenapa-kenapa?" Brian membuka obrolan malam itu dengan sedikit basa basi. Tentu saja dia tahu kalau Lina dalam kondisi baik-baik saja. Dia sendiri yang menangani kehamilan Lina selama ini.
"Mommy sehat, yah. HPL-nya kapan sih yah? Udah pengen liat adeknya Iyok. Trus pengen Iyok ajak maen bola" Mario selalu bersemangat saat dia berbicara mengenai adiknya yang masih ada di kandungan Lina. Mario sedari kecil memang hidup sendiri. Dia tidak punya kakak atau adik yang bisa diajaknya bermain semasa kecilnya, maka sangat wajar jika sekarang dia sangat antusias akan mempunyai adik.
"Sabarlah.. Lagian kamu itu ya aneh. Bayi baru lahir mau kamu ajak maen bola. Ya mana bisa? Aneh-aneh aja kamu itu yok.." Mentari menyahut antusiasme Mario yang kadang tidak masuk akal.
"Bunda tahu kan kalo Iyok pengen punya adek cowok. Ini mumpung keturutan, jadinya ya gak sabaran gini"
"Eh, tapi kayaknya adek kamu cewek kok. Hasil USG terakhir, adek kamu cewek kok" Brian sengaja menjahili Mario.
"Hah? Beneran yah? Seriusan? Kemaren ayah bilangnya cowok? Gimana bisa berubah?" Mario sedikit menunjukkan kekecewaannya mendengar apa yang baru dikatakan Brian itu.
"Bisalah. Banyak kejadian seperti itu. Banyak faktor yang mempengaruhi juga. Intinya sih, ntar waktu lahiran baru kita tahu jenis kelaminnya apa. Secanggih-canggihnya alat USG, bahkan yang empat dimensipun bisa salah kok."
"Yaaaa... Ya udahlah kalau gitu. Cewek juga gak apa-apa sih. Feinya tuh seneng kalo adiknya Iyok cewek. Tapi biar cewek atau cowok, Iyok pasti sayang kok sama adiknya Iyok" Mario menjadi sedikit murung.
"Hahahah... Iyok.. Iyok.. Segitunya kamu pengen adik cowok." Menyadari jika dia telah menjadi korban usil dari ayahnya sendiri, Mario langsung menyahut
"Jadi yang bener tuh cewek apa cowok sih yah? Beneran, Iyok gak masalahin mau adik Iyok itu cowok apa cewek. Gak masalah. Asal jangan di tengah-tengahnya aja"
Malam itu mereka lalui dengan santai dan penuh canda. Mario mencoba lebih mendekatkan Dea pada Brian dan Mentari. Kembali, dua perasaan muncul bersamaan pada dua individu yang berbeda. Mario merasakan kelegaan yang besar saat melihat bagaimana respon Brian dan Mentari terhadap Dea. Penerimaan kedua orang tuanya itu sungguh sangat melegakan baginya. Di sisi lainnya, Dea semakin bingung. Melihat semua keluarga Mario menyambutnya dengan sangat hangat membuatnya semakin bingung. Semua perlakuan Mario, semua perhatian dari keluarga Mario dan semua kenyamanan itu akankah masih tetap ada jika mereka tahu bahwa dia telah membohongi mereka dengan identitas palsunya? Bagaimana reaksi mereka saat tahu bahwa dia bukanlah Ningsih, dia adalah Dea? Pikiran-pikiran itu masih saja bersarang di otak Dea saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vibrasi Cinta Mario (Tamat)
RandomBerawal dari sebuah kesalahapahaman konyol, membuat Mario akhirnya bisa menemukan seseorang yang mampu menghiasi hari-harinya kembali. Cover by: Canva