Mario dan Richard langsung menuju ke salah satu gudang yang ada di kota Bandung. Gudang itu memang gudang untuk distribusi barang-barang elektronik produksi Nusa Raya Group. Karyawan yang ada di sana tentu saja kaget, ketika pimpinan teratas mereka tiba-tiba datang ke gudang. Mereka hanya tidak tahu jika salah satu sudut ruang bawah tanah gudang itu ada satu orang yang duduk dengan ikatan rantai yang sangat kuat. Ruang yang pengab dan dengan penerangan seadanya menambah kesan suram dari dari ruangan itu.
PROK... PROK.. PROK...
Suara tepukan dari tangan Mario. Senyum sinis menyeringai di bibir Mario. Refan, orang yang duduk dengan rantai melilit di tubuhnya hanya bisa mendongakkan kepalanya, mencari ke arah sumber suara.
"Jadi ini orangnya? Orang yang menjadi otak dari kekacauan selama ini? HAH?" Mario menjadi sangat emosional melihat penampakan dari Refan.
"Kau pikir? Aku akan diam saja setelah apa kau lakukan pada anakku?" Refan tidak kalah emosi melihat dan mendengar apa yang dikatakan oleh Mario.
"Kenapa? Bukankah itu hal yang sepadan? DIA SUDAH MENEMBAK ISTRIKU!! HAH???" Mario sudah tidak bisa membendung amarahnya.
"ISTRIMU TIDAK MATI!!! TAPI KAU BUAT ANAKKU MENJADI GILA!!!" Refan langsung membalas teriakan dari Mario. Dia yang awalnya duduk dengan diam, sekarang mencoba untuk melepaskan diri. Tapi tenaganya jelas tidak bisa mengalahkan lilitan rantai yang membelenggunya.
"Itu harga karena sudah mengusikku dan keluargaku!" Sergah Mario kemudian.
"Tapi aku harusnya bilang terima kasih. Gara-gara kamu dan anakmu yang bodoh itu aku bisa bertemu Dea dan sekarang bisa jadi istriku" Mario mengatakan itu dengan senyum mengejeknya. Dia berdiri lalu tatapannya beralih ke Richard.
"Beresin. Gua tunggu di mobil" Ucap Mario dingin. Richard mengangguk patuh. Mario melenggang pergi dari ruangan pengab itu dan menyisakan Richard dan Refan.
Tidak membutuhkan waktu lama, Richard menghampiri Mario yang sedang bersandar santai di mobilnya sambil dirinya melakukan video call dengan Dea. Sejujurnya dia ingin membawa serta Dea ke Bandung. Dia pasti senang bisa pulang ke ruamahnya, namun karena masalahnya cukup membahayakannya, Mario memilih merahasiakan ini semuanya.
"Kemana nih bos kita? Langsung balik Jakarta?" Pertanyaan Richard dijawab gelengan oleh Mario.
"Ke tempat papa dan mama dulu. Kita liat rusaknya kebun teh papa kayak gimana. Gua bisa bantu kayak gimana biar kebun papa juga bisa operasional normal lagi" Richard mengernyit sejenak kemudian dia hanya mengangguk. Hanya dalam hitungan kurang dari setengah jam, Mario berubah. Tidak terlihat Mario yang kejam dan bengis seperti saat menghadapi Refan atau ketika dengan brutalnya dia menghajar Leo. Sekarang, Mario terlihat sangat humanis dan hangat. Bahkan sekarang dengan santainya Mario berjoget sambil mendengarkan lagu dangdut yang ada di playlist ponselnya. Sungguh, tampilan yang sangat jauh berbeda.
"Pagi pa, pagi ma..." Sapa hangat Mario pada Dewa dan Anissa.
"Sendirian aja nak? Dea mana?" Tanya Dewa saat hanya mendapati yang datang hanya menantunya saja. Selesai urusanya dengan Refan, Mario langsung menuju ke rumah Dewa. Akibat kejadian itu, Dewa masih shock dan memilih untuk tinggal di rumah saja terlebih dulu. Devon akhirnya harus kalang kabut menangani permasalahan di perkebunan.
"Dea masih di Jakarta pa. Iyok emang gak ngajak Dea. Iyok gak mau aja Dea kepikiran kondisi perkebunan di sini." Jawab Mario. Dewa hanya mengangguk lemah.
"Papa istirahat aja ya. Iyok langsung aja ke perkebunan. Devon ada di sana kan pa? Iyok pengen liat dulu kerusakannya kayak gimana" lagi-lagi Dewa hanya bisa menganggukan kepalanya. Beban pikiran yang berat membuat fisiknya menjadi lemah saat ini. Mario lalu mengelus tangan Dewa, mencoba memberikan dukungan kekuatan pada ayah mertuanya itu.
"Nanti tidur di sini kan? Biar mama siapin dulu kamarnya." Anissa memastikan bahwa Mario menginap di sana.
"Iyok di kamar Dea aja ma."
"Belum bisa ditempati nak. Papa udah pesen ranjang, tapi belum jadi. Kan rusaknya parah waktu itu, jadi harus bikin baru" Perkataan dari Dewa membuat Mario langsung semburat Malu. Secara tidak langsung mengingatkan insiden tidak penting saat malam pertamanya dengan Dea. Richard yang duduk di samping Mario langsung menutup mulutnya dengan tangan dan berusaha menahan tawanya.
"Kalo gitu Iyok tidur barengan Devon aja ma."
"Ya udah kalau gitu, nak Richard tidur di sini juga kan? Biar sekalian mama siapin juga kamarnya"
"Kalau gak ngerepotin, boleh tante."
"Halah.. Lo mah ngarep kan tidur di sini. Cari gratisan aja lo"
"Tenang bos, dijamin tempat tidurnya gak bakalan rusak apalagi sampe jebol." Kembali Mario langsung menahan malu saat Richard memberinya sindiran telak padanya. Lirikan tajam dan seringaian dari Mario tidak mempan untuk Richard. Dia malah semakin tertawa melihat Mario yang seperti itu. Tidak menyeramkan sama sekali.
Setelah dirasa cukup, Mario bergegas menuju perkebunan. Ada beberapa hal yang ingin dia diskusikan tentang masalah di perkebunan teh milik Dewa tersebut. Devon lebih menguasai bidang perkebunan ini dibandingkan dengan Mario. Hal yang wajar, mengingat Devon dibesarkan dari perkebunan ini.
"Dev.. " Panggil Mario pada Devon yang saat ini sedang berjalan sambil melihat beberapa tanaman yang terlihat seperti ditebas dengan serampangan. Devon menoleh pada sumber suara dan mendapati Mario berjalan bersama Richard ke arahnya.
"Gimana Dev, parah ya kondisinya?" Mario langsung bertanya. Dia sendiri bingung karena memang bukan bidangnya masalah perkebunan seperti ini.
"Ya gini bang. Ini tanaman teh yang siap petik. Kayaknya orang yang nebas itu tahu, mana tanaman yang siap petik mana yang belum. Dia cuman ngerusak tanaman yang siap petik. Selain ditebas, banyak juga tanaman teh yang dicabutin. Di area sana malah tadi Devon liat kayak sengaja dikasih ulat biar gagal panen juga" Devon menjelaskan dengan detail kerusakan apa saja yang terjadi. Mario geram mendengar dan melihat apa yang dijelaskan oleh Devon. Bagi keluarga Dewa, perkebunan ini lebih dari sekedar tempat mencari nafkah, tapi lebih pada nilai historis karena perkebunan itu adalah warisan dari kakek Anissa.
"Berarti harus diganti semuanya? Tanam tanaman yang baru sama sekalian kita beli mesin baru buat pengolahan daun teh? Gitu?" Mario lanjut bertanya
"Gak bisa langsung ganti tanaman gitu aja sih bang. Taste tanaman baru pasti beda sama yang ada sekarang. Rencananya sih Devon mau buat pembenihan dari tanaman indukan teh, jadi rasanya gak akan berubah. Cuman masalahnya dari pembenihan sampai tanaman itu siap buat dipetik terus bisa sampai lima tahun. Trus gimana produksinya, gimana sama petani, gimana sama orang-orang yang bergantung dari perkebunan ini?" Mario terdiam. Ternyata ini yang menyebabkan kondisi Dewa sampai drop. Yang dipikirkan oleh Dewa bukan hanya soal perusahaan ini saja, namun semua orang yang bergantung pada perusahaan itu.
"Kalau papa, rencananya mau jual rumah trus mau bikin usaha kecil-kecilan. Tapi papa juga kepikiran soal karyawan papa, soal petani dan penggarap semuanya. Kalau kebun teh ini gak bisa beroperasi, mereka juga gak bisa dapat duit bang"
Mario hanya terdiam menerima penjelasan dari Devon. Ternyata masalahnya tidak sesederhana yang dia kira. Dalam benak Mario, dia berpikiran jika dengan menanam kembali tanaman yang sudah dirusak dan kemudian membeli mesin-mesin pengolahan daun teh yang baru sekaligus dia mau memodernisasi peralatan maka masalah akan selesai. Sekarang, Mario juga tahu alasan Dewa tidak menggunakan mesin yang canggih untuk pengolahan daun teh dan memilih mempertahankan cara tradisional.
"Abang punya ide lain gak? Buat atasin ini semuanya?" Tanya Devon
"Jujur, sekarang abang lagi gak punya ide. Coba nanti abang tanyain ke adek ipar abang. Biasanya dia punya ide anti mainstream yang kadang gak kepikiran. Kalau boleh jujur, abang salut sama papa dalam pengelolaan perusahaan ini. Pantes, semua karyawan loyal sama papa. Waktu kondisi terpuruk kemarin, mereka gak ngeluh sama sekali. Ternyata ini yang dilakuin papa"
KAMU SEDANG MEMBACA
Vibrasi Cinta Mario (Tamat)
RandomBerawal dari sebuah kesalahapahaman konyol, membuat Mario akhirnya bisa menemukan seseorang yang mampu menghiasi hari-harinya kembali. Cover by: Canva