Ketika rasaku dan rasamu, hanyalah menjadi angan yang tak pernah bisa menyatu. Maka-ku jadikan ilusi yang menjadi penggambar situasi kala itu.
-Cakrawala-
****
Setelah kejadian tadi sore, situasi tampak lebih tenang untuk saat ini. Dokter Lisa memberi intuksi agar jangan membahas kejadian yang terjadi pada Anya tadi pagi, karena sebagian memori yang tersimpan di dalam kepalanya membuat kontraksi yang tidak tepat untuk batinnya sendiri, gadis itu tampak mengalami trauma untuk sementara waktu.
Embun dan Julian telah beranjak duluan dari sana, mereka harus membersihkan badannya terlebih dahulu. Namun tidak dengan Cakra dan Hadden. Mereka tampak duduk di samping kiri dan kanan namun Anya sebagai penengah.
Ia telah terbangun sejak 10 menit yang lalu, gadis itu tampak mulai mengalami perkembangan. Bibirnya tidak terlalu pucat seperti saat pertama Cakra temui tadi. Hal itu membuatnya sedikit tenang.
"Udah mau magrib kalian gak mau pulang?" tanya gadis itu seraya memainkan kukunya.
"Gak."
Cakra dan Hadden sontak langsung beradu pandangan. Mendengus pelan kemudian mengalihkannya kembali.
Anya menaikan sebelah alisnya ke atas, "Loh, kenapa?"
"Gak papa." Hadden yang menjawab pertanyaannya, tanpa Cakra ikut-ikutan menimang. Lelaki itu pura-pura fokus pada ponselnya.
"Kalian perlu istirahat, pulang aja. Anya disini sendiri gak papa kok." titah gadis itu seraya tersenyum tipis.
"Nggak-"
Ceklek.
Pintu ruangan itu terbuka secara perlahan, sosok lelaki paruh baya langsung masuk ke dalam sana dengan tergesa-gesa. Menatap anak gadisnya dengan penuh khawatir. Motornya sempat mati di tengah jalan, sehingga mengharuskannya jalan kaki kesini beberapa puluh menit.
"Anya ... Anya gak papa kan? Anak ayah nggak kenapa-kenapa kan?!"
Tanya Pram bertubi-tubi seraya mencari luka yang terdapat pada wajah Anya. Cakra dan Hadden yang mengerti pun sontak langsung memberi ruang kepada ayah dan anak itu.
Gadis itu tersenyum, ia menurunkan tangan Ayahnya yang berada pada pipinya. "Anya baik-baik kok, Yah. Ayah gak perlu khawatir, masa Anya sakit gini doang panik." ledek gadis itu berusaha mencairkan suasana.
Dua lelaki yang ada berdiri di samping brankar nya pun terenyah. Doang? Bahkan kata itu tak cukup untuk menampung setitik luka yang terdapat pada tubuh gadis itu.
Pram menggelengkan kepalanya tak percaya, "Kalo kamu baik-baik aja kamu gak bakalan disini, Nya. Ayo cerita sama ayah, siapa yang udah nyakitin kamu? Biar ayah marahin anaknya!"
Gadis itu terdiam sebentar, mengigit bawah bibirnya agak sedikit tenang dihadapan Ayahnya. Cakra dan Hadden yang melihat itu pun sedikit panik, mereka takut Anya akan bereaksi lagi.
"A-anya, Anya gak disakitin siapa pun, tadi cuma jatoh pas belajar m-motor sama Embun, Anya jatoh ke aspal, jadi ke gores-gores kayak gini. Tapi ini sekarang udah baikan kok, kan dikasih obat sama dokter." bohong gadis itu panjang lebar, ia takut Ayahnya semakin khawatir. Lagi pula ia tak ingin mengungkit-ngungkit dan memperpanjang masalah ini, Anya hanya ingin menunggu anak-anak itu meminta maaf terhadapnya terlebih dahulu.
Cakra menaikan alisnya, kenapa gadis itu ingin sekali menutupi semua ini? Apakah Bella memang sudah melawati batas? Ia akan berbicara pada gadis itu sehabis Anya pulih kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cakrawala |REVISI|
Teen FictionIni kisah Cakrawala Pranadipta, manusia yang tak suka bercerita. Sedikit menggeser egonya, ia akan memulai berbagi tentang banyak penyesalannya. Sesal itu langka baginya, darah kotor sudah banyak yang tumpah diatas tangannya. Ia tidak menyesal, kare...