Berharap pada manusia, adalah patah hati yang paling disengaja.
***
Di hari Minggu ini, mereka mencoba menjalankan suatu hal yang berbeda dari biasanya. Ditemani dengan angin kentara yang menyejukkan, namun tak ayal membuat salah satu dari mereka mengeluh kedinginan. Kicauan burung Rucak rawa yang baru saja keluar dari sangkarnya pun seolah menyuruh mereka untuk bersemangat, untuk menjalani hari-hari yang berat entah itu esok, atau hari ini.
"Hadeuh ... baru kali ini gue bangun subuh-subuh," Geliat Laksa yang baru saja keluar dari pintu masuk.
Mereka semua memang sudah berkumpul di Basecamp sejak jam 2 malam lalu dengan berbagai alasan yang diliputi. Memang, banyak sekali penghalang untuk mereka berkumpul bersama, bahkan untuk bercanda gurau saja rasanya minim sekali. Dikarenakan masalah yang perlahan muncul masing-masing orang yang ada disana tanpa diketahui. Mereka malah memilih untuk memendam masalahnya sendiri-sendiri.
"Ngopi, ngopi, ngopi, ngopi!" sodor Julian ketika ia mendudukan bokongnya di atas rumput.
"Ngapain lo semua di sini? Dingin anjir."
Titanic sontak mengangguk, ia memeluk dirinya seraya menggigil kedinginan, "Titan ikut aja, soalnya di dalam cuma sendirian. Buat nunggu treuk makanan yang mau nyampe sekarang."
"Jadi hari ini? Lagian ini mendung, lain kali aja."
Mars menonyor kepalanya, "Ye ... ini kan masih fajar, goblok. emang suasananya kek gini."
Laksa mendengus, "Gue kan anak IPS, jadi kaga tau."
"Gak ngaruh ngab."
"Diem dah lu pada anjir, masih pagi ribut aja bawaannya," ujar Julian sedikit kesal.
Titanic memeluk lututnya, "Kita ke sana naik apa?"
"Ya motor lah—"
"Gak, kita bakal naek pick up." potong Cakra cepat.
Mereka semua sontak membulatkan matanya, Laksa yang sedang menyeruput kopinya pun langsung tersedak di tempat, "M–MOBIL SAYUR?! MAKSUD LO?!"
Ia mengangguk, "Kita doang. Anak-anak yang lain naek motor. Gue takutnya kalo kebanyakan motor ntar macet, yang ada semuanya gak bakalan selesai hari ini."
"Wanjing, gak bisa lah. Kalo nanti kita diteriakin kambing gimana?! Lo belum tau rasanya cuy."
"Gapapa, Laksa. Kita kan kambing yang banyak duit, nanti kalo di sembelih dagingnya jadi emas," ucap Titanic sangat antusias.
Laksa sontak terkekeh garing, meladeni lelaki itu sama saja mengajaknya bergulat tiada akhir, "Iya, Titanic. lo doang keknya yang banyak duit."
"Kata kakek, kita gak boleh minum kopi. Soalnya nanti bakalan diare, lebih baik kita minum susu."
"Susu? Susu—"
Plak
Cakra dan Julian sontak langsung menepak mulutnya secara bersamaan, melototinya seolah bersiap untuk menerkam Laksa silih berganti.
Laksa nyengir, ia mengusap-ngusap bibirnya dengan nyali yang ciut, "Ma–maksud gue kan, susu kedelai. Bukan susu—"
Plak
"L–lu pada kek yang ngerti aja gue mo ngomong apa. Ya kali gue gitu-gituan. Gue anaknya bae, om gue pak Ustad, walaupun gua fakboy kelas udang, gue juga masih ngehargain cewek lah, dengan cara maen solo tapi."
"Solo-solo matamu!" cibir Julian.
Titanic menaikan alisnya, "Solo kan kota, emang sejak kapan Laksa maen ke Solo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cakrawala |REVISI|
Teen FictionIni kisah Cakrawala Pranadipta, manusia yang tak suka bercerita. Sedikit menggeser egonya, ia akan memulai berbagi tentang banyak penyesalannya. Sesal itu langka baginya, darah kotor sudah banyak yang tumpah diatas tangannya. Ia tidak menyesal, kare...