Bukan tuhan tidak tau akan sedihmu, namun dia tahu kalo kamu benar-benar kuat.
***
Cakra sontak langsung menegakan tubuhnya kembali. Lelaki itu menyimpan buburnya, lalu merapihkan bajunya untuk menghindari kesalah pahaman.
"Sorry!" Cakra tampak gugup, ia mendudukan bokongnya kembali, meraih kedua sendok itu kemudian menyimpannya di atas nakas.
Anya memalingkan pandangannya, "Ga–gapapa, Kak." Tangan mungilnya langsung berdiam diatas jantung, mencoba menahan degupan kencang yang terus menggila di dalam sana.
"Kalian ini mau ngapain, toh?" Pram menghampiri mereka, matanya tampak memincing curiga pada kedua manusia itu.
"Ng–ngga, Yah. Kak Cakra cuma jatuh tadi,"
Pram ikut duduk di samping gadis itu, menghela nafasnya lalu tertawa kecil."Masa sih? Gak percaya Ayah,"
"Iyaaa, Ayah."
"Ya sudah, kirain ayah kamu gak ada yang jagain. Makannya ayah pulang dulu kesini." jelas Pram.
Anya menaikan alisnya, "Ayah gak ngajar?"
Pram menggeleng, "Kan kesini dulu."
"Kasian temen-temen, Yah. Ayah balik lagi aja, Anya bisa sendiri disini." Anya merasa tak enak kepada ayahnya. Setau dia, jarak dari sekolah ayahnya sampai sini sangat lah jauh. Apalagi terik matahari yang mulai panas membuatnya tak tega. Ayahnya pasti memakai motor tua itu untuk sampai sini.
Pram tersenyum, "Gak papa—"
"Gapapa, Om. Anya biar saya jagain, sama temen-temen saya juga." Cakra memotong ucapan Pram.
"Loh, baru sadar saya kalo kamu gak sekolah ..."
Cakra mengangguk, "Saya sudah izin, Om."
"Terima kasih, saya liat kamu udah jagain Anya dari kemarin. Apa Hadden juga temen kamu?"
Senyuman Cakra tampak meluruh, ia dengan cepat langsung mengubah mimiknya kembali, lalu mengangguk. "Iya, Om."
Pria paruh baya itu langsung berdiri kembali, bibirnya terangkat untuk memberikan senyuman pada Cakra, "Saya tenang dengernya."
Ia mengusap rambut Anya perlahan, menggengam tangannya dan langsung berpamitan. "Ayah bakalan pulang dulu, nanti sore ayah bakalan kembali lagi kesini. Cepet sembuh ya ..."
Gadis itu membalas senyumannya, "Iya ayah, tenang aja."
Setelah berbincang sebentar, akhirnya Pram melanjutkan langkahnya kembali. Ketika ia akan menggenggam gagang pintu itu, Anya memanggilnya kembali, hal itu membuatnya mau tak mau harus berhenti.
"Ayah jangan lupa makan ya! Bawain Thunder juga nanti,"
Pram membalikan tubuhnya, "Tentu," Mata Pram teralihkan ke arah Cakra sesaat, "Om pamit dulu, makasih udah ngejagain putri Om."
Cakra membalas ucapan itu dengan anggukan, ia memantau Pram sampai punggungnya hilang di balik pintu itu.
"Apa ayah lo lupa sama gue, Nya?"
"Gak tau Anya, tapi kayaknya iya sih, soalnya kak Cakra udah banyak berubah."
"Oh ya? Terus kenapa kalo sama Hadden dia masih inget?" tanya Cakra mulai acuh.
Anya mengetuk dagunya, "Mungkin, karena kak Hadden sering main ke rumah Anya dari dulu."
"Ck, serah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cakrawala |REVISI|
Teen FictionIni kisah Cakrawala Pranadipta, manusia yang tak suka bercerita. Sedikit menggeser egonya, ia akan memulai berbagi tentang banyak penyesalannya. Sesal itu langka baginya, darah kotor sudah banyak yang tumpah diatas tangannya. Ia tidak menyesal, kare...