33. Pasar Malam (1), Teror pertama?

945 136 184
                                    

Dia cuma singgah, bukan sungguh. Karena sekedar penasaran, bukan perihal perasaan.

Sekolah telah sepi, karena bel sekolah telah berdengung 1 jam yang lalu. Namun tidak dengan kedua gadis itu, mereka harus mengikuti eksrtakulikuler basket terlebih dahulu. Kegiatan yang seolah wajib mereka laksanakan.

Disana, Embun sendiri adalah ketua basket putrinya, Anya yang merupakan anak ambis pun bisa ia ajak kemana-mana. Lagian, gadis itu selalu pintar dalam segala hal.

"Bis udah jalan, lo bareng gue aja."

"Embun emang gak ada kegiatan apa-apa lagi? Anya mau jalan kaki aja deh, Embun duluan aja," titahnya tak mau merepotkan.

Embun dengan cepat menarik tangan gadis itu bersamanya, "Gue bukan mentri kali."

Mereka berdua langsung masuk ke dalam mobil, memasang sealtbeatnya kemudian menyalakan mobilnya. Anya menghela nafasnya sebentar, menyenderkan kepalanya pada punggung kursi mobil, kegiatan hari ini lumayan membuatnya lelah.

"Denger-denger, Barze bakalan ada BAKSOS ntar minggu, lo mau ikutnya?" tanya Embun tanpa mengalihkan pandangannya.

Dahi Anya mengernyit, "Dimana? Gak tau deh Anya."

"Di desa yang baru kena banjir, daerah Selatan gitu."

"Boleh, Embun ikut?" Anya memutar kepalanya ke arah Embun.

Gadis itu mengangguk, "Kalo gak ikut si Julian pasti maksa-masa gue, Nya."

Anya menghela nafasnya kembali, "Huft, sabar ya, Mbun. Julian maksa-maksa gitu mungkin karena sayang."

"Gak butuh gue."

Merasa sedikit hening, gadis yang berkemudi itu sontak mengangkat tangannya untuk memutar radio, mengencangkan sedikit volumenya, kemudian menggerak-gerakan jarinya di atas setir.

"Embun, kira-kira kak Cakra mau ngomong apa ya? Takut banget Anya," ucapnya gusar.

"Udah gue bilang radio, Anya."

Anya mengangguk, "Iya, Anya tau. Tapi buat apa?"

Embun mengangkat kedua bahunya, "Buat jadi spiker BAKSOS nanti kali."

"Kak Cakra mau nyewa cabangnya MF?"

"Ya mungkin, sih. Cabang gede juga itu."

"Perasaan namanya FM deh, Embun gak salahkan?" tanyanya sedikit ambigu.

"Ya emang FM, terus lo kira apa?" Kedua gadis itu tampak saling memutar pertanyaan. Ucapan Embun membuat Anya membeku, ia dengan cepat mengeluarkan ponsel dari tasnya.

"Aduh, pake mati lagi," keluhnya kesal.

Anya menggit ibu jarinya panik, "Gimana dong? Kalo salah Anya malu banget."

Embun melirik ke arahnya, "Salah kenapa?"

"Embun kan tadi bilangnya MF itu radio, padahal namanya FM. Pasti kak Cakra gak ngerti sama apa yang Anya ucapin, gimana dong? Embun sih, asal jeplak aja!"

Mereka berdua tampak saling menyalahkan, "Lo juga yang salah, Nya. Ngapain nanyain hal gituan sama gue. Pendengaran gue bilangnya MF, gue tak tau kalo itu salah. Ck, biarin aja sih."

"T-tapi, Anya malu."

Embun menepuk punggung Anya berusaha menenangkan, "Orang atas kayak dia mana paham radio-radioan, Nya. Yang dia tau paling earphone sama semacamnya. Gak usah dipikirin, lagian juga dia gak akan susah-susah buat mikirin itu semua, lo tau si Cakra, Nya."

Cakrawala |REVISI|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang