32. Rumitnya minta maaf

916 132 238
                                    

Cinta tanpa logika, adalah permainan rasa tanpa makna.

****

"Sumpah sih, lo kalo ngomong nggak pernah mikir dulu, goblog." semprot Laksa padanya.

"Ck, ya gue nggak tau."

"Kalo si Hadden tau, udah ribut lagi lo pada, Kra." tambah Julian.

Bel istirahat sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu. Suasana yang tadinya ricuh perlahan tenang, karena barisan-barisan antrian telah diselesaikan secepat mungkin oleh para staf kantin.

Mereka semua disini hanya berlima. Hadden, lelaki itu sedang latihan untuk olimpiade sains yang akan dilaksanakan pada 2 minggu depan. Harusnya Titanic ikut bersamanya, namun laki-laki polos itu tampak sangat malas jika harus bersangkut-paut dengan hal yang tidak menguntungkan dirinya.

"Cakra kalo ngomong makannya dipikir-pikir dulu. Jangan kayak Mars, sekali nyeletuk langsung bikin hati orang sakit. Kalo hati udah sakit nyembuhinnya susah tau," Titanic memecahkan keheningan mereka semua, lelaki itu tampak santai bicara seraya mencolekan sendoknya pada mie yang ada di depannya.

Ucapannya jelas membuat mereka terkejut, tumben sekali lelaki itu berbicara bisa masuk ke dalam topik. Bahkan tanpa bertanya terlebih dahulu tentang permasalahan yang ada, seperti biasanya.

Laksa menaikan alisnya, "Ke sambet apa lo?"

Lelaki itu sontak menggeleng, "Gak tau, pengen aja ngomong gitu."

"Nih ya, Tan. Gue kalo ngomong selalu apa adanya, netral. Gak bisa gue kalo harus ngubah omongan jadi di alus-alusin. Omongan gue sebenernya gak nyakitin, Tergantung orang bisa menyikapi dirinya sendiri, Intinya intropeksi diri aja sih." timpal Mars ke arahnya.

Julian yang mendengar itu pun berdecih, "Cih, tai."

"Terus gue harus ngapain?" Cakra bertanya setelah beberapa saat terdiam.

Laksa menghela nafas untuk sesaat, "Lo, harus minta maaf."

Cakra menaikan alisnya, "Gue? Gue minta maaf?" Lelaki itu terkekeh pelan, "Masalahnya gak gede-gede amat, Lak. Bodo amat juga sih kalo dia mau maafin gue atau enggak. Gaada yang rugi." ujarnya enteng.

Julian ikut terkekeh, "Yakin lo? Kalo lo nyesel gue ketawa aja, dah."

"Bukan masalah gede atau nggaknya, njing. Hati orang beda-beda, lo udah ngelakuin ini sama Anya jauh-jauh hari. Bahkan selama dia nginjakin kaki di sekolah ini, kerjaan lo cuma ngerendahin dia berulang kali dengan cara yang sama, Kra. Untung Anya anaknya bae, kalo orang lain ketemu lo udah ditampat tiap hari."

Mata Cakra beralih kearah Laksa, ucapan lelaki itu jelas menampar hatinya secara tak langsung. Bukan itu masalahnya, kalau saja Anya bukan penjahat di masa lalu. Mungkin ia akan memperlakukan gadis itu secara manusiawi, tanpa ada paksaan dari siapapun.

"Gue gak ngerti sama diri gue sendiri."

Helaan nafas lagi-lagi terdengar dari mulut mereka, "Bukan lo doang, kita juga."

"Terus kenapa Cakra perhatian banget sama Anya waktu di rumah sakit?" tanya Titanic penasaran.

Cakra terenyah sebentar, lalu mengangguk mengerti, "Gue kasihan."

"Lo ... lo cuma kasihan sama dia? Please mikir dong, anjing. kata 'kasihan' lo itu punya arti yang lebih buat dia. Kalo emang gak niat ngasih kepastian, ya mending gak usah, gak usah kasihan-kasihanan. Yang dia butuh bukan rasa kasihan lo, Kra. Hargaiin, hargaiin dia sebagai cewek pada umumnya. Cara dia ngejar-ngejar lo udah bikin harga dirinya jatuh ke dasar tanah. Dan lo, lo ngebales itu semua cuma karena kata sampah kasihan lo itu? What are you doing, man!" sentak Laksa frustasi.

Cakrawala |REVISI|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang