Patah, tumbuh, layu dan hilang.
***
Kicauan burung beo menganggu indra pendengarannya, cahaya matahari pun tampak mengenai matanya. Cakra yang merasa terganggu pun membuka matanya perlahan, mencoba menghalau cahaya itu agar berhenti menembus netra tajamnya.
"Kamu sudah bangun?" tanya Serine ke arahnya, wanita itu tampak baru saja menyibakan tirai jendela kamarnya, dan langsung menghampiri Cakra, menata bantal agar anaknya bisa bersandar dengan tenang.
"Shhh ... kenapa Cakra masih di sini?"
Ia memegang ulu hatinya yang sedikit ngilu, untung saja rasa sakitnya tak segila malam tadi. Andai saja Alaska tak memukul titik terlemahnya, kini mungkin ia sudah beraktivitas seperti biasanya. Terdiam di rumah besar ini membuatnya tak tenang.
"Kamu pingsan semalaman, asam lambungmu kembali naik."
Lelaki itu meluruskan lehernya terlebih dahulu, kemudian menyandarkan kepalanya di atas tumpukan bantal, "Cakra harus pulang."
Serine tampak menautkan alisnya, "Ini rumahmu, kemana kamu pulang?
"Maksudnya, Cakra harus balik ke apart. nanti Cakra main ke sini lagi." balasnya pelan. Ia lelah jika harus mengulang kembali semua memori yang ia simpan di rumah ini.
Serine dan Elard dulu tampak mendidiknya secara terlatih, dimana ia harus bisa mengusai pistol di umur 6 tahun. Supaya bisa menjaga diri ketika dewasa kelak, ujar mereka. Namun, ternyata hal itu jelas sangat memuakan baginya. dimana anak-anak lain saling bermain bola bersama, bahkan bermain hujan sampai larut sore, hal itu jelas membuatnya memendam rasa iri pada hatinya.
Pagi, siang, sampai sore yang ia boleh lakukan hanya berlatih, berlatih, dan juga berlatih. Ia hanya di ijinkan bermain pada hari minggu saja. Hari dimana awal ia memiliki satu-satunya teman yang bertahan dengan sikap dinginnya.
Flashback on
"Haiii, kenapa kamu sendiri di sini?" sapa gadis mungil nan cantik itu ke arahnya, Cakra yang melihat itu pun menaikan satu alisnya, apakah ia sedang mengajaknya ngobrol? tanyanya aneh.
Cakra yang menatap gadis itu selama beberapa detik pun mengalihkan pandangannya, ia turun dari kursi tamannya dan mulai beranjak meninggalkan gadis itu sendirian.
Anya kecil menatap punggungnya heran, ia tampak mengangkat celengannya tinggi-tinggi agar bisa berhadapan dengannya.
"Kenapa dia marah, Thunder?" Celengan ayam itu tampak mengelengkan badannya tak tahu. Jelas kalau benda itu digerakan oleh tangan gadis itu sendiri.
Ia mengetuk-ngetukan jari telunjuk pada dagunya, mencoba berpikir agar laki-laki kecil itu tak terus-menerus bersedih disini sendirian.
Anya berlari, mencoba menahan tangannya agar berhenti. Hal itu membuat Cakra memutar badannya perlahan, menaikan alisnya untuk sebuah pertanyaan.
"Mau temenan sama Anya? Anya juga gak punya temen soalnya." ia mencoba menarik tangan Cakrawala untuk mengikutinya.
Mereka berdua duduk kembali ke atas kursi itu, gadis kecil itu tampak ingin berbicara sesuatu dengan antusias.
"Temen-temen Anya suka ngeledekin Anya, katanya Anya jelek. Gak pantes temanan sama mereka. Anya juga gak punya boneka barbie, boneka barbie Anya tangannya udah patah."
Gadis itu menghela nafasnya perlahan, "Padahalkan tangannya masih bisa disambungin pake nasi bekas, yang sering dilakuin sama Ayah."
"Kalo kamu? Kenapa kamu sendirian disini? Baju kamu padahal bagus, sepatu kamu juga keren. Gak kayak Anya, liat baju Anya. Ini bagus tapi di kasih tetangga, hehehe ...." kekehnya berusaha untuk bergurau, padahal jelas tak ada yang pantas untuk di tertawakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cakrawala |REVISI|
Teen FictionIni kisah Cakrawala Pranadipta, manusia yang tak suka bercerita. Sedikit menggeser egonya, ia akan memulai berbagi tentang banyak penyesalannya. Sesal itu langka baginya, darah kotor sudah banyak yang tumpah diatas tangannya. Ia tidak menyesal, kare...