•08 : Lamaran Singkat•

5.4K 390 5
                                    

Karya ini adalah fiksi,
Karakter, nama, adegan, tempat dll
Yang muncul sebuah imajinasi.
Adanya kesamaan itu merupakan sebuah kebetulan!!

Maaf kalau typo bertebaran dan terdapat beberapa kata atau kalimat yang membuat kalian harus membaca ulang

Happy Reading

-oOo-

Ditempat lain, rumah Dhiva

"Kapan dia mau dateng?" Tanya Ayah Dhiva serius pandangannya tajam menusuk, menatap anak perempuannya, bundanya menangis tersedu dibahu sang Ayah, tidak menyangka dengan nasib yang dialami putrinya.

Dhiva sudah menceritakan kejadian yang ia alami, sesuai dengan apa yang Erlang suruh ceritakan kemarin.

"Be-besok Yah." Ucapnya dengan suara kecil, Dhiva menunduk tidak berani menatap mata sang Ayah.

Awalnya bundanya tidak percaya, dan mengira itu cuma candaan yang biasa Dhiva lakukan, namun saat Dhiva mulai meneteskan air mata, bundanya langsung terdiam dan ikut mengeluarkan air matanya, sedangkan Thoriq bersikap tenang menutupi keterkejutannya.

"Bunda selalu ngajarin kamu kak, buat ngga macem-macem."

"Maafin Dhiva bunda..." Dhiva terduduk memeluk kaki sang bunda menangis sesunggukan mencoba memohon pada bundanya.

Nabila mengabaikannya, berlalu menuju kamar, tidak memerdulikan Dhiva yang masih mencoba memohon meminta maaf, ia terlalu kecewa dengan apa yang Dhiva lakukan.

Thoriq hanya duduk dengan tangan bersedekap didada, ia tidak yakin dengan apa yang Dhiva ceritakan, tidak mungkin putri kebanggaannya bisa seperti itu.

"Ayah maafin Dhiva." Dhiva masih sesunggukan.

"Udah kak, nasi udah jadi bubur, kita tunggu dia besok." Ucap Thoriq dengan wajah datar, berjalan menuju kekamar "Kamu tidur sana." Lanjutnya sambil menutup pintu kamar.

Dhiva masih duduk terdiam, tangisnya sudah hilang.

Bukan ini yang Dhiva harapkan, ia juga tidak menginginkan hal ini terjadi, ia sudah merencanakan hidupnya untuk kedepan, lulus dengan nilai tertinggi, masuk universitas yang ia mau, dan membuka toko bunga seperti yang dia impikan.

Namun kenyataannya tidak sesuai dengan yang ia impikan, kepahitan ini harus ia telan bulat-bulat, ia harus kuat untuk bayi dalam perutnya.

Dhiva bangkit menuju kamar, melanjutkan tangisnya dipojokan, dengan kepala yang memendam pada bandal untuk meredam tangisnya.

"Kak iva." Dhira membuka pintu perlahan, memunculkan sebagian kepalanya untuk mengintip.

Segera Dhiva menghapus air matanya, ia tidak boleh terlihat sedih didepan adik kesayangannya.

The Night IncidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang