Fajar telah menyapa mentari pagi. Hari mulai cerah dengan kedatangan cahaya sang mentari. Suara ayam berkokok menyambut pagi dengan sejuta tanda tanya.
Apa yang akan terjadi pagi ini? Akankah kisah membahagiakan datang menghampiri para insan? Atau malah sebaliknya.
Ini hari pertama, bukan hari pertama Lalisa menstruasi. Melainkan, hari pertama Lalisa menyambut dunia baru. Dunia yang pernah ia tinggal selama dua tahun lamanya. Entah masih sama atau tidak nantinya. Tapi, segala resiko sudah di depan mata.
Kali ini, Lalisa sarapan dengan kedua orang tuanya. Tumben sekali, mereka tidak berangkat pagi buta. Biasanya, saat Lalisa masih sekolah di Bandung, Pak Surya dan Bu Rani sudah berangkat ke tempat kerja dengan kesibukan masing-masing.
"Lisa, hari ini kamu berangkat sama Pak Maryo" tutur Bu Rani sembari tangannya mengoles roti tawar dengan selai coklat untuk suaminya.
"Hmm"
Hanya deheman yang Lalisa berikan sebagai jawaban. Ini bukan pertama kalinya Lalisa harus memulai dunianya sendiri. Mereka terlalu sibuk dengan kerjaan sampai terkadang jarang bertemu dengan Lalisa.
"Papa harap kamu bisa mengerti kondisi mama dan papa, Lisa" ujar Pak Surya menimbrungi obrolan Bu Rani dan Lalisa.
"Tenang aja Pa, anakmu ini bisa berdiri sendiri menghadapi dunia yang kejam" jawab Lalisa santai.
Entah Pak Surya dan Bu Rani mengerti atau tidak ucapan Lalisa barusan. Itu adalah sindiran kepada mereka. Siapa anak yang tahan tidak di perhatikan? Sakitnya melebihi dari apapun bukan.
"Kalau ada apa-apa, kamu kabari mama, Lisa" pesan Bu Rani pada Lalisa.
Kedua alis Lalisa terangkat seakan kaget dengan ucapan Bu Rani barusan.
"Mama kan sibuk, jadi gak usah khawatir sama aku. Sudah aku bilang, kalau aku ini anak tangguh"
Lagi, Lalisa membuat sindiran halus. Dari tampak wajah mereka, sama sekali tidak ada beban yang tersirat setelah mendengar sindiran Lalisa. Apa mungkin mereka tidak merasa bahwa itu sebuah sindiran?
Pak Surya menyodorkan kartu kredit pada Lalisa. Membuat Lalisa menatap malas melihatnya. Lalisa tahu sekali maksud dari kartu kredit itu apa.
"Lisa, kamu bisa pakai kartu ini buat beli apapun semau, kamu" tutur Pak Surya.
Lalisa menatap nanar kartu kredit itu. Bukan ini yang Lalisa butuhkan, bukan uang yang Lalisa minta untuk saat ini. Tapi, waktu dari Pak Surya dan Bu Rani yang Lalisa butuhkan.
"Emangnya papa bakal gak di rumah?" Tanya Lalisa dengan tatapan memelas.
"Kamu kan tahu. Akhir-akhir ini papa sibuk dengan clien. Papa takut kebutuhan kamu tidak terpenuhi jika papa sibuk" jelasnya.
Kali ini mata Lalisa menatap Bu Rani dengan tatapan memohon. Bu Rani pun juga menatapnya paham maksud tatapan Lalisa.
"Lisa, butik mama kan baru buka cabang di Jakarta. Jadi, ada kemungkinan mama juga sibuk" ujar Bu Rani dengan di sertai senyum canggung.
"Lisa tahu kok. Kalau mama sama papa sibuk, jadi Lisa gak kan ganggu kesibukan mama sama papa" ucap Lalisa dengan bibir gemetar.
***
Ini hari pertama Lalisa masuk sekolah baru. Setelah pindah dari Bandung, Lalisa meminta orang tuanya agar menyekolahkannya di tempat teman-teman SMP-nya sekolah. Lalisa butuh teman, bukan uang yang semata-mata menjadi jaminan orang menemukan kebahagiaan.
Apa gunanya uang jika hidup bahagia dengan di selimuti kesepian?
Lalisa mendaratkan tulang ekornya di bangku sebelah Kirei. Sesekali Lalisa tersenyum kepada teman-teman lamanya. Kabar Lalisa akan kembali bersekolah di Jakarta pun sudah terdengar di telinga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny Scenario [On Going]
Teen FictionApa yang kamu lakukan saat kembali di pertemuan dengan seseorang yang membuat kamu harus berbohong demi sebuah janji? Memberi tahunya?atau malah menghindari? Lalisa Naraya Maharani gadis ceria yang hidupnya di hantui rasa bersalah. Bukan keinginanny...