Malam yang di temani bintang serta bulan. Cukup indah, akan tetapi semua akan lebih indah jika ditemani seseorang yang indah pula di hidup ini. Angin malam yang sedikit dingin, tidak membuat Lalisa beranjak dari tepi kolam.
Tidak, Lalisa tidak berenang. Hanya duduk di tepi kolam renang, dengan kaki ia redam ke dalam air kolam. Tangannya terangkat seakan mengukur bintang di langit sana.
"Non, makan malam dulu." Seru Bi Lastri di ambang pintu.
Refleks, Lalisa menoleh dan tersenyum ke Bi Lastri. Tangannya ia letak ke semula.
"Nanti, Bi. Lisa belum laper," tolak Lalisa halus.
"Makan non, nanti sakit lagi."
"Kali ini, Lisa gak akan sakit lagi, Bi."
Kalian tahu batu? Seperti itulah Lalisa. Keras kepala, sejak dahulu sampai saat ini. Sifat buruknya itu susah sekali dihilangkan. Bahkan, lawannya harus mengalah untuk itu.
"Ya udah, tapi jangan sampai gak makan." Peringat Bi Lastri.
Dengan senang, Lalisa mengangguki ucapan Bi Lastri, dan memberinya kedua jempol.
"Bibi, masuk dulu, non." Pamit Bi Lastri.
"Iya, Bi. Selamat malam,"
Sepeninggalan Bi Lastri, kembali Lalisa menikmati malam yang cukup indah. Menghayati angin yang menerpa tubuhnya. Memejamkan mata, untuk merenungi anugerah yang ia nikmati hari ini.
Tapi semua itu terganggu, akibat bunyi nada dering dari ponselnya. Segera, Lalisa meraih ponselnya dan menatap nama di layar tersebut.
Si mulut cabai rawit is calling...
Kening Lalisa mengerut, seakan akan yang aneh dengan panggilan dari Si mulut cabai rawit. Ini bukan nama bakul cabai rawit, tapi siapa lagi orang yang memiliki mulut sepedas cabai kalau bukan Kaivan.
"Ngapain dia nelpon gue?" Tanya Lalisa pada dirinya sendiri.
Tentulah heran, urusan diantara keduanya sudah tidak ada, setelah selesai urusan hari jadi panti. Untuk apa Kaivan menghubunginya.
Perlahan, Lalisa menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan.
"Lu punya jari gak sih, lama banget angkat telponnya." Cerca Kaivan di seberang sana.
Lalisa hanya diam, apa ini yang namanya etitude bertelpon yang baik dan benar. Untuk mengawali telpon, sapaan Kaivan sangat membagongkan. Lebih tepatnya, memancing emosi.
Lalisa menarik nafas dalam-dalam. Menyiapkan segala kesabaran jika harus berbicara Kaivan, si mulut cabai rawit.
"Jadi lu telpon gue, cuma mau adu bacot. Oke, gue terima." Sergah Lalisa menggebu-gebu.
"Kenapa lu jadi ngegas?"
"Ya jelaslah gue ngegas, lu telpon gue aja, gak ada sopan-sopannya. Emang ada orang telpon salam pembukaannya hinaan?" Tajam Lalisa mulai kesal.
"Oke, gue salah, gue minta maaf."
Lalisa memutar bola matanya malas. Bertemu dan berbicara dengan Kaivan beberapa kali, membuatnya sedikit tahu tentang Kaivan. Walaupun kata-kata yang sering keluar dari mulutnya pedas, untungnya Kaivan masih mau mengalah. Jika tidak, sempurna sudah Kaivan Si mulut cabai rawit bin menyebalkan.
"Jadi, apa tujuan lu telpon gue?" Tanya Lalisa malas.
"Ikut gue keluar!"
"Lu ngajak gue?" Dengan polosnya Lalisa menanyakan itu pada Kaivan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny Scenario [On Going]
Teen FictionApa yang kamu lakukan saat kembali di pertemuan dengan seseorang yang membuat kamu harus berbohong demi sebuah janji? Memberi tahunya?atau malah menghindari? Lalisa Naraya Maharani gadis ceria yang hidupnya di hantui rasa bersalah. Bukan keinginanny...