Matahari pagi yang menerpa wajah Lalisa, membuatnya bangun dari tidur pulasnya. Matanya menyipit, samar-samar melihat sekitar ruang inapnya. Dan saat mata Lalisa terbuka, ada sesuatu yang membuatnya terpanah. Pak Surya dan Bu Rani sedang berbicara dengan dokter yang menanganinya.
"Mama, papa," Lalisa memanggil Pak Surya dan Bu Rani dengan suara serak khas bangun tidur.
Langsung saja, mereka yang tadinya sibuk berbicara dengan dokter, mendekat ke Lalisa. Bu Rani langsung mengecup kening Lalisa cukup lama.
"Sayang, kenapa kamu gak bilang kalo sakit," ucap Bu Rani tulus.
Lalisa tersenyum manis, apa ini mimpi. Bagaimana bisa orang tuanya ada disini. Padahal kan, Lalisa sudah berpesan pada Bi Lastri jangan menghubungi mereka.
"Lalisa gak papa, ma. Kok, mama bisa tahu kalo Lalisa di sini, bukannya mama sama papa pulang dua hari lagi," ujar lalisa heran.
Pak Surya mengusap kening Lalisa dengan senyum. Tangannya satunya menggenggam tangan Lalisa erat, lalu mengecupnya.
"Maafin papa sama mama, sayang. Kita terlalu sibuk, sampai gak pernah luangin waktu buat kamu," seru Pak Surya penuh penyesalan.
"Mama sama papa janji, mulai sekarang akan bagi waktu, antara pekerja dan kewajiban," timpal Bu Rani.
Mata Lalisa mulai memanas, ini benar-benar seperti mimpi yang Lalisa harapkan. Pak Surya dan Bu Rani menjenguknya di rumah sakit.
Butir air mata mulai membasahi pipi Lalisa. "Ini bukan mimpi kan, ini benar-benar nyata apa adanya kan?" Tanya Lalisa masih belum menyangka.
Bu Rani mengusap air mata Lalisa, kini Bu Rani juga ikut menangis. "Gak sayang, ini benar-benar nyata. Maaf, karena mama gak pernah memberi kasih sayang seutuhnya sama kamu," ucap Bu Rani tulus.
Lalisa tidak bisa menahan air matanya. Kini tangisnya benar-benar pecah karena rasa haru.
"Kenapa kamu gak bilang, kalo kamu sakit. Apa bener kamu jarang makan?" Tanya Bu Rani prihatin.
Senyum terbit di bibir Lalisa. Inikah rasanya diperhatikan seorang ibu. "Lalisa gak mau ganggu mama sama papa. Lalisa kadang cuma lupa buat makan, ma,"
"Lain kali, jangan seperti itu, Lalisa. Papa sama mama, sayang sama kamu," ucap Pak Hendra.
Lalisa mengangguk senang, akhirnya keinginan yang selama ini Lalisa harapkan, terkabul hati ini. Tapi, yang jadi pertanyaan, bagaimana bisa Pak Surya dan Bu Rani tahu jika Lalisa sedang di rawat?
"Em, ma, pa. Ngomong-ngomong, kenapa mama sama papa tahu kalo Lalisa di rawat. Apa Bi Lastri yang hubungi mama sama papa?"
Lalisa memandang Pak Surya dan Bu Rani satu per satu. Ada senyum terbit di bibir keduanya. Semakin membuat Lalisa tidak paham.
"Sayang, bukan Bi Lastri yang hubungi mama sama papa. Tapi temen kamu," Bu Rani memberitahu Lalisa.
Kening Lalisa mengerut tidak mengerti. Teman? Teman siapa yang di maksud Bu Rani? Kirei? Apa mungkin Kaivan?
"Temen?" Lalisa bertanya balik pada kedua orang tuanya.
"Kemaren malam, ada nomor tak dikenal, telpon papa. Terus, waktu papa angkat katanya temen kamu, Kaivan namanya," imbuh Bu Rani.
"Kaivan?"
Flash Back On
Kaivan sedang mondar-mandir di kamarnya. Otaknya sedang berfikir, bagaimana caranya agar Lalisa tidak sampai seperti ini. Jarang makan, banyak menyembunyikan luka, Kaivan turut iba melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny Scenario [On Going]
Teen FictionApa yang kamu lakukan saat kembali di pertemuan dengan seseorang yang membuat kamu harus berbohong demi sebuah janji? Memberi tahunya?atau malah menghindari? Lalisa Naraya Maharani gadis ceria yang hidupnya di hantui rasa bersalah. Bukan keinginanny...