Mimpi Itu?

7.3K 474 8
                                    


     Tubuh Zain menegang, deru nafasnya seperti  orang yang sedang  berlari sangat  kencang. Sungguh mimpi itu tidak pernah berhenti menghantuinya. Dimulai kurang lebih  2tahun yang lalu mimpi itu terus saja menghantui. Zain sendiri  tidak tau bagaimana bisa mimpi itu terus berulang dengan kejadian dan tempat yang sama.

     Usahanya untuk mencari teka-teki mimpi itu selalu berakhir dengan tidak ada kepastian. Apakah ini azab yang menimpanya seperti sinetron-sinetron yang ada di televisi?  aahh rasanya tidaklah mungkin.

Dalam mimpinya seorang anak perempuan menghampiri dan menyebutnya dengan sebutan Papa.  Ataukah memang benar putrinya? Yang pernah keguguran sebelum Naila  menjadi istri sah secara Negara?

"Mas, mimpi itu lagi!"

"Hmmmm,  iya, dan saat ini lebih jelas dari biasanya"  Zain menjawab sambil menghela nafas lelah, 2tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mimpi yang sama.

"Minum dulu, Mas pasti  lelah dan haus, maka dari itu selalu bermimpi."

" Oh, ya, Mas,  besok kita ke dokter kandungan ya,  Nai, mau lihat baby kita, sekalian nanti USG ingin tau jenis kelaminnya juga. Mas, gak sibuk kan! "

"Mudah-mudahan gak ya Nai, Mungkin Mas berangkat saat jam makan siang. Kamu gak apa-apa kan!"

Naila mengangguk tanda setuju "Ayo, tidur lagi, masih jam 2 pagi atau Mas mau langsung sholat malam saja? Biar Nai siapin sajadahnya dan juga pakaian Koko nya, kalau sudah bangun seperti ini, biasanya,Nai sulit tidur, Mas."

     Rutinitas yang tidak pernah Zain lakukan  ketika bersama dengan Aila hanya seringnya memandang Aila saat shalat malam, kini ketika bersama Naila rutinitas itupun tetap aku jalani, bedanya saat ini Zain yang menjadi imam dan Naila menjadi makmumnya.

      Tidak bisa di pungkiri, ada sebagian sudut hati yang terasa begitu hampa.  Tapi,  Zain pun tidak tau kehampaan apa yang terus saja membuat hatinya merasa terluka.

      Beberapa bulan ini Zain selalu teringat Aila,  semenjak kejadian itu, dia tidak lagi terlihat bahkan kabarnya saja Zain tidak pernah tau lagi.

     Aila seolah menghilang dari kehidupan keluarganya, bahkan caci maki sempat Zain terima ketika bertemu  dengan mantan ibu mertuanya.. Mereka merasa terdzolimi begitu katanya.

     Ibarat nasi telah menjadi bubur, ungkapan yang pantas untuk seorang Zain Putra Albagaz. Ya, Zain mengakui kehilangan Aila adalah pùkulan terbesar dalam kehidupannya. Zain  mengira dengan berlalunya waktu, Zain dapat melupakan bayang-bayang Aila dari kehidupannya. Nyatanya itu salah besar.

     Zain mengangkat kedua tangan, memulai takbiratulihram, memulai bacaannya dengan fasih, sampai ia tuntaskan surah terakhir di rakaat terakhir yang ia baca, putaran memori bersama Aila justru berputar begitu saja.

     Zain sampai beristigfar tiada henti, disaat dirinya bersama Naila, disaat dirinya bersama cintanya telah bersama dalam ikatan halal dan diakui negara, mengapa ingatannya justru tertuju pada Aila.

     Zain mengakui, saat itu, bukanlah imam yang baik, bahkan disaat  Aila sering shalat tahajud, Zain hanya diam dan menunggu.

     "Ya, Rabb, Ampuni kami. Ampuni kesalahan kami. Ampuni segala kekhilafan yang dulu pernah terjadi diantara kami." Zain, terdiam, sambil menarik nafas, suaranya terbata, karena banyaknya air mata.

"Mas, kamu......"

Zain membalik badannya, menatap Naila dengan mukena berwarna salem.

"Nai, maafin Mas, maaf jika dulu memulainya dengan cara tidak baik. Maaf, jika membuatmu harus terpisah dengan sahabat-sahabatmu, maaf karena Mas juga yang akhirnya membawamu dalam rumah tangga ini."  Zain, membelai wajah Naila, wanita yang dulu sangat di cintainya.

Melepasmu 1 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang