Setelah acara makan malam kecil-kecilan mereka selesai, Jaemin bangkit kemudian membereskan seluruh perlengkapan makan. Ia membuang dua botol soda yang sudah kosong serta dua kotak ayam. Ayam yang masih tersisa ia letakkan di dalam lemari pendingin, ia akan menghangatkannya lagi untuk sarapan esok pagi.
Seusai mencuci perlengkapan makan, Jaemin kembali ke ruang tengah membawa beberapa cemilan kecil. Ia meletakkannya di atas meja bundar tersebut untuk Jeno yang sedang fokus menonton tayangan di televisi.
Jaemin menarik laci lemari yang terletak di bawah televisinya. Ia meraih satu bungkus rokok serta pematiknya. Dirinya berjalan pelan menuju jendela balkon, menggesernya supaya terbuka. Ia pun disambut dengan udara malam
"Hah...." Ia menghela nafas sebelum menyelipkan sebatang rokok di antara bibir merah mudanya. Setelah mematik ujung rokok tersebut, ia menyesapnya dalam lalu menghembuskan asapnya keluar.
Jaemin mengecap rasa berry yang keluar dari batang rokok itu. Beban pikirannya hilang begitu saja digantikan rasa tenang yang melanda. Jeno memperhatikan tubuh Jaemin yang bertumpu pada pagar pembatas, pemuda itu tampak asyik merokok tidak memperdulikan Jeno yang notabenenya adalah tamu di sini.
Alhasil Jeno pun berdiri kemudian berjalan menghampiri Jaemin. Ia ikut menumpu kedua tangannya di pagar pembatas itu, memandangi bintang yang bertaburan di langit. Hidungnya menangkap aroma berry yang kental dari asap tersebut. Sebenarnya ia tidak begitu suka dengan rokok, Jeno lebih memilih alkohol dibandingkan rokok.
"Mau?" Tanya Jaemin saat menangkap Jeno sedang menatapnya.
Jeno menggeleng, "kau bisa mati jika terlalu sering merokok." Ucapannya membuat Jaemin terkekeh seolah meremehkan lalu membuang sisa rokoknya ke dalam tempat sampah kecil di dekatnya. Ia kembali mematik sebatang rokok yang baru.
"Peduli setan."
"Berhentilah merokok atau kau akan mati sia-sia."
Jaemin menatap Jeno sesaat sebelum melemparkan bungkus rokoknya ke dalam tong sampah. Itu adalah rokok terakhirnya karena ia belum membeli stok lagi. Jaemin tidak terlalu khawatir karena ada cara lain untuk mengatasi stresnya yaitu alkohol yang tersedia di lemari pendingin.
"Aku akan mandi. Jika kau bosan, ada video game di laci meja."
Pemuda itu pun pergi ke dalam kamarnya untuk membersihkan diri. Jeno menatap tubuh kurus itu dari belakang sebelum menutup pintu balkon dan juga tirai putihnya. Akhirnya Jeno kembali duduk di atas sofa, pandangan matanya menatap lurus ke arah tayangan di televisi.
Entah kenapa apartemen Jaemin yang berukuran tidak begitu luas ini membuatnya betah. Selain bersih dan harum, Jeno juga bisa melihat benda-benda di dalam sana tersusun sangat rapi. Di atas meja yang menumpu televisi juga terdapat beberapa bingkai foto, di antaranya ada foto Jaemin yang beranjak dewasa serta satu bingkai foto yang menunjukkan foto Jaemin bersama keluarganya saat acara kelulusan SMP. Wajahnya yang lugu mampu membuat Jeno tersenyum tipis.
Hingga irisnya terpaku pada sebuah foto berbingkai putih. Jeno melihat seorang pria sedang tersenyum manis di foto tersebut, pria itu adalah Dong Sicheng yang Jeno yakini adalah ibu dari Jaemin. Senyumannya manis sekali mirip seperti senyuman Jaemin. Kini Jeno mengerti sekarang. Pria itulah yang telah mewariskan seluruh gennya kepada Jaemin entah itu dalam bentuk paras maupun fisik.
.
.
.
.
.
.Setelah membersihkan dirinya dan memakai pakaian hangat, Jaemin berjalan keluar sambil memakai bando karet berbentuk telinga kelinci mungil untuk menahan poni yang menghalangi pandangannya. Ia berjalan menghampiri Jeno kemudian duduk di samping lelaki tersebut. Tangan kurusnya meraih cemilan berupa makaron berbagai macam rasa lalu memakannya segera.
"Jadi.. kau tinggal sendirian di sini?" Tanya Jeno masih terpaku pada layar televisi. Menahan nafasnya sejenak saat tidak sengaja menghirup aroma stroberi dari tubuh Jaemin, oh sebentar apakah seorang Na Jaemin memakai sabun dan sampo beraroma stroberi?
"Ya." Jawab Jaemin acuh. Ia memasukkan sebuah makaron ke dalam mulutnya lalu memandang malas ke arah televisi.
"Apartemennya cukup besar dan mahal untuk seorang pekerja seks sepertimu."
Brak.
Jaemin sengaja meletakkan toples berisi makaron di atas meja televisi saat ia beranjak. Berjalan menuju tong sampah kecil di sudut ruangan untuk mengambil kembali kotak rokoknya. Masih ada dua batang, lumayan untuk menghilangkan beban pikiran serta rasa marahnya.
Lancang. Itu yang ada di pikiran Jaemin ketika Jeno menyebutkan seorang pekerja seks meski memang itulah kenyataannya.
Dihisapnya batang rokok tersebut sambil menumpu tubuh di pagar pembatas. Memandang kosong ke arah bawah dengan pikiran berkecamuk. Jaemin baru menyadari bahwa ia membawa masuk seorang laki-laki asing yang pernah menyakiti hatinya beberapa tahun lalu. Dan sekarang laki-laki itu sedang memandangi tubuhnya dari belakang sana.
Karena lelaki itulah Jaemin tidak pernah membuka hatinya lagi untuk siapapun. Entah itu perempuan maupun laki-laki.
Tiba-tiba hujan turun. Jaemin segera berjalan mundur lalu menggeser pintu balkon hingga tertutup begitu saja. Baru saja ia hendak berbalik, wajahnya langsung berpapasan dengan wajah tampan milik seorang Jung Jeno.
"Menyingkirlah." Ujar Jaemin sinis. Menyingkirkan sebatang rokok dari bibir merah mudanya.
"Bisakah kau berhenti merokok?" Tanya Jeno. Ia memandangi sepasang mata bulat penuh binar tersebut meski sering memberikan tatapan sinis dan tajam padanya.
"Bisakah kau pergi dari sini?"
Ugh, baiklah.
Jeno merasa Jaemin begitu membencinya sehingga Jaemin tampak acuh. Berbeda dengan Jaemin yang selalu mengejarnya ketika mereka masih berada di sekolah menengah pertama. Jika saat itu Jaemin terlihat masih sangat kekanakan, naif, dan lugu, kini Jaemin berubah menjadi orang dewasa yang acuh, jarang berbicara, dan selalu menantang orang lain ketika ia sedang merasa kesal.Jeno masih terdiam di tempat sambil memandangi Jaemin. Lelaki kelahiran Agustus itu menghembuskan asapnya ke wajah Jeno dengan jahil lalu menyeringai, "aku akan memberimu sebuah ciuman dan kau bisa pergi dari sini secepatnya." Bisik Jaemin.
Ia menarik leher Jeno mendekat. Menempelkan bibir mereka untuk sejenak lalu segera menjauhkan kepalanya. Tetapi Jeno tampak menahan tengkuk Jaemin, menggerakkan bibirnya untuk melumat bibir tipis tersebut.
Untuk yang pertama kalinya Jaemin bisa merasakan betapa lembutnya bibir merah milik Jeno. Setelah selama ini ia hanya berangan-angan, pada akhirnya ia berhasil merasakan bibir tipis tersebut dengan poin bonus Jeno yang menciumnya duluan. Maksudnya menahannya untuk meneruskan ciuman itu.
Aroma tubuh Jeno yang seperti daun mint membuat Jeno semakin jantan. Berbeda dengan aroma tubuh Jaemin yang mirip seperti stroberi, kesannya terlihat lebih manis walau terkadang Jaemin akan menutupi aroma tubuh aslinya dengan parfum beraroma vanila.
Ciuman Jeno turun ke dagu hingga rahang Jaemin. Memeluk pinggang Jaemin seiring ia menghirup aroma stroberi dari ceruk leher berlapiskan kulit halus tersebut. Jaemin menggulirkan matanya karena merasa tenggelam dalam perlakuan tersebut, ia memejamkan matanya lalu menyesap batang rokok kembali seiring Jeno bermain-main dengan lehernya.
Candu.
Yang ada di pikiran Jaemin saat ini adalah apakah benar ia sedang bercumbu dengan laki-laki paling populer di sekolahnya dulu? Laki-laki pertama yang menghancurkan hatinya dan laki-laki pertama yang secara terang-terangan berkata bahwa ia membenci Jaemin.
Ya, memang benar dia orangnya.
Jung Jeno.
.
.
.
.
.
.To be continue
.
.
.
.
.
.- navypearl -
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] positions. | JenoJaemin
Hayran Kurgu[REVISI] Terakhir kali Jeno melihatnya, dia hanyalah seorang anak laki-laki labil yang tidak mengerti apa itu cinta. Penampilannya culun, senyuman lebar seperti badut, dan rambut berbentuk mangkuk. Namun semuanya berbeda ketika Jeno datang ke sebuah...