Empat hari kemudian Jaemin kembali ke rumah sakit setelah menyelesaikan urusan kepindahan tempat tinggalnya. Jaemin memutuskan untuk kembali ke rumah lamanya, meninggalkan kenangan-kenangan pahit dan indah yang terdapat di apartemen tersebut. Selama Jaemin membereskan barang-barang pribadi bersama kedua orang tuanya, Jaemin merasa berat meninggalkan tempat tinggalnya karena di sinilah kisah Jeno dan Jaemin dimulai.
Dan yah, akhirnya Jaemin pulang ke rumah asalnya dan hidup bersama keluarga kecilnya.
Hari sudah memasuki pertengahan bulan Desember, butiran salju mulai turun disertai cuaca dingin. Jaemin turun dari taksi yang ia tumpangi kemudian berjalan masuk ke dalam gedung rumah sakit sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku mantel. Lelaki itu berjalan ke lantai 6 dimana kamar rawat Jeno berada.
Saat dirinya sampai di depan pintu berwarna putih itu, Jaemin menghela nafas panjang sebelum mendorongnya. Ia disambut dengan keluarga Jeno yang sedang berdiri mengelilingi ranjang rawat tersebut. Taeyong tampak memandangi wajah si tengah sesekali memberikan usapan di surai kusam itu. Ia sangat merindukan Jeno.
Pandangan Stephen teralihkan ketika melihat seseorang berdiri di dekat pintu. Ia melukis senyum lalu melambai, bermaksud menyapa Jaemin. Jaemin membalas lambaian itu dengan anggukan singkat sebelum berjalan keluar dari ruangan Jeno. Sebaiknya ia tidak mengganggu mereka.
Jaemin menunggu di lorong yang lain. Mendudukkan diri sambil menghela nafas panjang, menyender santai serta memejamkan mata. Sudah nyari lima hari Jeno terbaring koma. Tidak ada tanda-tanda siuman sama sekali.
Bohong jika Jaemin tidak khawatir kepadanya.
Dan Jaemin sempat melihat Taeyong. Ibu dari Jeno sekaligus seorang model papan atas. Namanya cukup terkenal di industri hiburan. Wajahnya selalu menghiasi majalah musim panas, mempromosikan barang-barang berkualitas tinggi yang berhasil menarik perhatian banyak orang.
Bahkan Jaemin hanya pernah melihatnya di layar televisi atau layar ponsel. Betapa beruntungnya ia bisa melihat Lee Taeyong secara langsung, hehe ia bisa pamer kepada Haechan nanti.
Selagi Jaemin mengistirahatkan diri, ponselnya pun berdenting menandakan ada sebuah pesan masuk dari kontak Stephen.
Stephen Jung
10.11 amAku dan yang lain sudah berada di perjalanan pulang dan akan kembali malam nanti
Tolong temani Jeno hyung
Terima kasih hyungKemudian Jaemin pun beranjak dari berjalan ke lorong lain. Menghampiri ruang rawat Jeno lantas masuk ke dalam. Ia bisa menghirup aroma obat-obatan yang pekat juga melihat tubuh Jeno terbaring tidak berdaya bersama suara dari monitor detak jantung.
Kemudian Jaemin melepas mantel dan maskernya lalu meletakannya di atas sofa. Ia sempat melihat salju turun semakin deras di luar sana. Ia tidak bisa membayangkan betapa dinginnya suhu hari ini.
"Selamat pagi." Jaemin menghampiri Jeno. Memberikan usapan kecil di surai pujaan hatinya sebelum mendudukkan diri di kursi yang tersedia. Memandangi wajah tampan itu dengan senyuman kecil di wajahnya.
"Kau masih betah berbaring di sini? Kau tidak ingin melihat salju di luar bersamaku?" Jaemin meraih tangan dingin Jeno kemudian menggenggamnya, "aku membeli perhiasan natal dengan kartu debitmu, jangan marah karena kau sendiri yang bilang jika aku boleh menghabiskannya."
"Omong-omong isinya sudah habis. Bangun dan isilah lagi, aku ingin pergi berbelanja."
Tidak ada jawaban. Hanya suara dari monitor yang menunjukkan detak jantung Jeno yang begitu lemah.
"Tapi bohong... isinya masih banyak..."
Lelaki itu menghela nafas. Menempelkan keningnya di jari-jari Jeno lalu memejamkan mata. Merapalkan kalimat maaf sekaligus berharap jika Jeno akan bangun setelah ini. Hatinya hancur melihat Jeno berada di ambang kematian. Alat-alat penopang hidup itu... bagaimana jika mereka tidak lagi bisa membantu Jeno untuk tetap berada di sini?
"Jeno, jangan pergi untuk yang kedua kali. Maafkan aku. Ayo bangun dan kita lupakan semuanya."
Lelaki itu mendongak saat mendengar suara pintu terbuka. Jaemin memicingkan matanya lalu berdiri saat melihat seorang laki-laki datang membawa buket bunga dan buah-buahan. Huang Renjun, ia membungkuk kecil sambil tersenyum samar. Sepasang bola matanya yang memerah tidak bisa berbohong jika ia baru saja menangis karena Jeno.
Lelaki bersurai merah muda itu mengusap pipi Jeno dengan lembut lalu meletakkan sebuah buket bunga di meja nakas. Renjun menoleh, ia memandangi Jaemin dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Renjun ingat sekali dengan bocah kelas C yang sangat lugu dan pendiam, namanya Na Jaemin.
"Senang bertemu denganmu lagi, Na Jaemin." Renjun tersenyum tipis, senyuman yang sangat indah bahkan Jaemin sampai terpesona.
"Ya, Huang Renjun."
Renjun menghela nafas panjang, "Jaemin, maafkan aku. Kurasa kau sudah mengetahui berita yang sampai sekarang bermunculan dimana-mana. Tentang aku dan Jeno, kuharap kau tidak salah paham. Kami... tidak memiliki hubungan apapun terkecuali sebatas teman."
Jaemin terkejut mendengarnya. Ia mengepalkan kedua tangannya erat bersamaan dengan bola matanya yang bergetar kecil. Renjun baru saja mengatakannya secara sadar?
"Kau tahu, Jaemin? Meski begitu... Aku sangat mencintai Jeno. Aku nyaman berada di sampingnya, dialah alasan di balik senyumanku ini." Renjun tersenyum kecil sambil memandangi Jeno.
"Aku juga mencintainya." Jawab Jaemin membuat Renjun segera menoleh.
Mereka bertatapan untuk sejenak. Memandangi lawan bicara dengan tatapan yang cukup intens sebelum Renjun berjalan mendekati Jaemin. Dagunya bergetar karena ia menahan isakannya, kedua tangannya meraih kedua bahu Jaemin kasar dan meremasnya.
"Renjun?" Ujar Jaemin terkejut.
"Kumohon, Na Jaemin." Renjun meneteskan air matanya, "tolong untuk selalu berada di sampingnya dan mencintainya sepenuh hati. Dia membutukan kasih sayang lebih darimu. Dia sangat mencintaimu."
Jaemin terdiam. Ia pikir Renjun akan mencaci maki atau menghajarnya tapi tak disangka Renjun akan berkata sedemikian rupa. Hati Jaemin berdenyut saat Renjun menunduk dan menangis, alhasil Jaemin memeluk lelaki mungil itu meskipun ragu. Yang seharusnya mereka lakukan adalah menguatkan satu sama lain dan terus berharap supaya Jeno segera kembali.
"Hei, jangan menangis." Jaemin mengusap punggung Renjun hingga lelaki bermarga Huang itu berusaha keras menghentikan isak tangisnya.
Renjun benar-benar seperti malaikat. Meskipun dirinya begitu mencintai Jeno, dirinya harus rela menanam perasaannya dalam-dalam karena Jeno hanya mencintai Jaemin. Jeno menganggapnya sebagai teman dekat, tidak lebih. Renjun pikir, mungkin dengan mengorbankan perasaannya ia bisa melihat Jeno bisa hidup bahagia bersama orang lain.
"Terima kasih, Jaemin." Renjun memeluk tubuh Jaemin lalu melepasnya. Ia tersenyum, menahan rasa sakit karena harus melepas Jeno untuk Jaemin.
"Tidak, seharusnya aku yang berterima kasih." Jawab Jaemin, tangannya mengusap jejak air mata Renjun yang membanjiri pipi.
"Jadi... Kita adalah teman sekarang?"
Jaemin menggaruk tengkuknya ragu, ia pun mengangguk pelan sebagai jawaban, "boleh."
"Bagus." Renjun terkekeh kecil, "omong-omong kau terlihat sangat cantik, Jaemin. Sangat berbeda saat terakhir kali kita bertemu."
"Benarkah begitu?"
"Ya! Tentu saja."
.
.
.
.
.
.To be continue
.
.
.
.
.
.- navypearl -
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] positions. | JenoJaemin
Fanfiction[REVISI] Terakhir kali Jeno melihatnya, dia hanyalah seorang anak laki-laki labil yang tidak mengerti apa itu cinta. Penampilannya culun, senyuman lebar seperti badut, dan rambut berbentuk mangkuk. Namun semuanya berbeda ketika Jeno datang ke sebuah...