Jaemin tersenyum sambil mendorong kursi roda yang sedang Jeno duduki. Ia melempar senyum kepada orang-orang yang bertemu pandang padanya bahkan menyapa dengan ramah. Lelaki itu mengarah pada pintu besar yang langsung menembus ke arah taman belakang rumah sakit. Karena salju di luar tidak turun deras alhasil mereka memutuskan untuk pergi keluar.
Mereka berhenti di bawah sebuah pohon tinggi berselimut salju. Jaemin mengusap bahu Jeno lalu melepas satu syal dari lehernya yang berwarna cokelat muda. Melilitkannya ke leher Jeno lalu tersenyum senang dan duduk di atas salju, berhadapan dengan Jeno.
"Aku membelinya kemarin. Kurasa itu cocok untukmu." Ujarnya.
"Pakai kartu debitku?" Jeno berucap sambil memegang syal lembut tersebut. Lelaki di hadapannya mendadak terkekeh renyah lalu menyelipkan surainya ke belakang telinga.
"Ya."
Mereka terdiam. Sibuk memandangi salju yang turun serta beberapa orang yang bermain bersama terutama pasien anak-anak yang baru pulih. Para perawat pun ikut bermain bersama sekaligus mengawasi anak-anak itu.
Tiba-tiba Jeno teringat sesuatu ketika melihat anak-anak yang sedang berlarian. Ia mengingat mimpi yang ia alami selama berada dalam masa kritisnya. Itu terasa seperti nyata, Jeno bisa mengingatnya dengan sangat detail.
"Aku melihatmu di dalam mimpiku." Jeno berucap membuat Jaemin memutar arah duduknya menjadi menghadap ke arah Jeno kembali.
"Mimpi?" Tanyanya bingung.
"Ya, mimpi yang aku alami saat aku dalam masa kritis. Di dalam mimpi itu aku baru saja kembali dari kantor dan aku membawa... sebuah kue stroberi. Aku melihatmu duduk di sofa ruang tengah, saat itu kau sedang mengandung anak kita." Jeno menatap Jaemin yang sedang memperhatikannya dengan seksama.
Wajah lelaki itu langsung memerah hingga ke telinga. Antara malu dan kedinginan, "aku hamil?"
"Ya... kau hamil, anak kita."
Jaemin terdiam. Jika mimpi itu menjadi kenyataan, apakah bisa Jaemin berharap mereka memiliki seorang bayi yang Jaemin kandung di rahimnya sendiri? Selama ini Jaemin tidak pernah memeriksa kondisi dirinya sendiri, bahkan Jaemin tidak tahu jika dirinya bisa mengandung atau tidak karena sejauh ini ia sering mengonsumsi pil kontrasepsi setelah melakukan hubungan intim atau meminta lawan mainnya untuk memakai kondom.
Karena Sicheng memiliki rahim, mungkin Sicheng bisa menurunkan gennya kepada anak sulungnya, Jaemin. Meski kemungkinannya kecil Jaemin tetap tidak yakin karena ia tidak pernah merasakan gejala kesuburan apapun.
"Itu hanya mimpi. Di dunia nyata aku sendiri tidak yakin aku bisa mengandung atau tidak. Kemungkinannya sangat kecil." Jaemin menjawab lalu mengalihkan pandangannya.
"Jaemin," Jeno meraih kedua tangan Jaemin kemudian menggenggamnya erat, menatap dalam ke sepasang mata berbinar itu, "aku tidak peduli dengan mimpi itu. Aku hanya ingin kau mengerti jika semua yang kau lihat hanyalah kebohongan, aku tidak akan pernah menikah dengan Renjun. Itu semua hanya a-"
"Aku mengerti Jeno, maafkan aku tidak mendengarkan penjelasanmu malam itu." Sela Jaemin.
"Kau percaya padaku 'kan?"
Jaemin mengangguk, "ya, aku akan selalu percaya padamu Jeno. Sampai kapanpun karena aku juga mencintaimu. Dan ini..." Jaemin merogoh saku mantelnya lalu mengeluarkan satu kotak beludru berisika cincin yang Jeno beli beberapa bulan lalu. Cincin yang rencananya akan dirinya berikan kepada Jaemin pada malam itu.
Jeno menghela nafas melihatnya. Ia memijat dahinya pelan kemudian menggeleng kecil. Pria brengsek sepertinya tidak akan pernah pantas bersanding dengan Jaemin.
"Jeno, apa benar kau membelinya untuk kita berdua?" Tanya Jaemin.
"Itu benar. Darimana kau tahu?"
"Itu tidak penting," Jaemin meraih tangan Jeno lalu meletakkan kotak tersebut di atas telapak tangan itu, "jika kau mencintaiku, maka pasangkanlah cincinnya di jariku sekarang juga."
Lelaki tampan itu terkekeh kecil lalu menggeleng. Ia memandangi kotak cincin beludru itu lalu mengenggamnya erat. Enggan mengikuti perintah Jaemin padahal jauh di dalam lubuk hatinya ia juga ingin menjadikan Jaemin miliknya lewat cincin ini.
"Jaemin," Jeno mendongak memandangi Jaemin, "apa aku pantas bersanding denganmu?"
Hati Jaemin terasa seperti dicubit. Pertanyaan yang selalu Jaemin tanyakan kepada Jeno kini malah berbalik. Ia tidak percaya Jeno menanyakan hal seperti itu kepada dirinya yang begitu rendah. Sontak Jaemin pun meraih kedua tangan Jeno, meremasnya perlahan.
"Aku benci jika harus mendengarmu mengatakan kalimat itu."
"Jaemin..."
"Kita sama-sama brengsek, tidak tahu diri, dan egois. Kita sama, Jeno-ya. Aku tidak ingin mendengar hal itu lagi keluar dari mulutmu."
Akhirnya Jeno meraih tangan kanan Jaemin lalu menyelipkan cincin berukuran lebih kecil di jari manis Jaemin. Ia tersenyum kemudian mengecup punggung tangan pujaan hatinya lalu mengusap surai pirang tersebut. Jaemin sempat terkejut. Sepasang matanya yang berbinar memandangi cincin berkilau tersebut.
"Terlihat pas dan cocok untukmu. Cantik sekali." Ujar Jeno mengacak rambut Jaemin lagi. Kemudian Jaemin mengambil cincin yang lain untuk dipasangkan ke jari manis Jeno.
"Kita sama 'kan?" Ujar Jaemin memandangi cincin mereka.
"Jadi, Na Jaemin. Apa kau bersedia untuk menjadi pendamping hidupku ke depannya?"
Jaemin pun tersenyum, "apa ada alasan untuk menolak?" Kemudian ia beranjak lantas memeluk tubuh Jeno, memberi kehangatan satu sama lain berharap kehangatan ini tidak akan pernah hilang sampai kapanpun.
Setelah selama ini bersusah payah untuk menghilangkan sosok Jeno dari pikirannya, pada akhirnya Jaemin tidak bisa pergi dari cinta pertamanya tersebut. Hatinya diciptakan hanya untuk Jeno, begitu juga dengan Jeno yang mencintai Jaemin sepenuh hati. Mereka telah menemukan orang yang tepat. Orang yang bisa diajak hidup bersama hingga kematian menjemput keduanya.
Jeno sadar jika dirinya telah menyakiti Jaemin sejak dulu. Ia beranggapan bahwa Jaemin hanya bocah lugu yang tidak mengerti arti penting dari cinta. Jaemin hanyalah bocah biasa yang selalu memaksakan kehendak, mengejar Jeno setiap hari berusaha menarik perhatian pangeran sekolah itu.
Hingga akhirnya dunia berputar. Kini Jeno yang harus memakan kenyataan bahwa dirinya sangat mencintai Jaemin dan tidak bisa jauh dari lelaki itu. Jeno ingin menjalankan kehidupannya yang masih panjang ini bersama Jaemin, hanya bersama Jaemin.
Bibir merah mereka bertemu. Di dalam ciuman itu Jaemin tak bisa menahan senyumannya sehingga mereka terpaksa melepaskan ciuman tersebut. Jaemin tersenyum lebar lalu menyatukan kening mereka.
"Jadi aku adalah kekasih dari pangeran sekolah sekarang?" Tanya Jaemin menggoda Jeno.
Jeno memutar bola matanya lalu mendorong kening Jaemin menggunakan jari telunjuk, "kau beruntung mendapatkan pangeran setampan diriku ini, bocah."
"Hei bajingan, aku bukan bocah."
"Kau memang bocah, lugu pula."
.
.
.
.
.
.To be continue
.
.
.
.
.
.- navypearl -
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] positions. | JenoJaemin
Fanfiction[REVISI] Terakhir kali Jeno melihatnya, dia hanyalah seorang anak laki-laki labil yang tidak mengerti apa itu cinta. Penampilannya culun, senyuman lebar seperti badut, dan rambut berbentuk mangkuk. Namun semuanya berbeda ketika Jeno datang ke sebuah...