Malam setelah kejadian dimana Jeno menolak mentah-mentah hadiah pemberian Jaemin, Jaemin benar-benar tidak memiliki semangat untum hidup. Masih terekam jelas di memorinya semarah apa Jeno hari itu. Setiap kata makian yang Jeno lontarkan pun masih Jaemin ingat dengan sangat jelas karena segelintir kalimat itulah yang berhasil menghancurkan hatinya serta kepercayaannya terhadap orang lain bahkan terhadap kedua orang tuanya sendiri.
Ia mengurung diri di dalam kamar. Tidak mempedulikan pendidikannya lagi jika saja Yuta tidak mendaftarkan si sulung ke sekolah menengah atas yang menjadi opsi utama Jaemin untuk melanjutkan pendidikan. Semuanya Yuta yang urus karena saat itu ia pikir Jaemin sedang tidak dalam mood baiknya selama beberapa minggu.
Hingga seminggu sebelum semester baru dimulai, Jaemin pergi keluar rumah untuk bertemu dengan dua teman sekelas ketika SMP. Dua gadis itu merupakan teman Jaemin yang tidak pernah menindasnya selama sekolah. Yah, Jaemin bersyukur karena masih ada orang yang ingin berteman dengannya.
"Jaemin-ah, sini." Gadis bermata bulat itu melambaikan tangan saat melihat Jaemin masuk ke kafe pelajar tersebut. Jaemin melukis senyum kecil lalu mendudukkan diri di sana.
"Bagaimana kabarmu? Kelihatannya kamu lelah akhir-akhir ini?"
"Aku baik kok."
Remaja bersurai hitam itu hanya bisa menanggapi pembicaraan teman-temannya dengan senyuman atau jawaban seadanya. Ia tidak begitu tertarik dengan obrolan perempuan. Hingga akhirnya salah satu temannya menyeletuk.
"Kalian tahu? Jeno pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolahnya di sana. Bukankah itu sangat keren?"
"Wah, benarkah? Kemana?"
"Aku dengar sih ke Amerika. Wah, Jung Jeno benar-benar beruntung karena terlahir dari keluarga kaya raya. Dia bisa meminta apapun dan dia juga bisa belajar dimanapun!"
Jaemin mengerjap sesaat sebelum menunduk. Ia meremas kedua tangannya perlahan sebelum beranjak, ia berpamitan sambil menyodorkan beberapa lembar uang untuk segelas minuman boba yang bahkan belum ia minum setetes pun. Tanpa mengatakan apapun lagi Jaemin pun berjalan pulang.
Amerika?
Bukankah itu sangat jauh?
Bagaimana jika Jeno sengaja pergi untuk melanjutkan pendidikan di sana semata-mata untuk menghindari Jaemin? Apakah Jeno benar-benar membenciku? Pikir Jaemin.Kehidupannya sangatlah suram tanpa warna. Ia hanya bangun untuk berangkat sekolah, belajar, pulang, makan, dan tidur. Begitu terus setiap hari. Di hari libur ia memilih mengurung diri di kamar, tidak berbicara tidak tersenyum maupun tertawa.
Ia ditindas saat berada di sekolah. Orang-orang menyudutkannya karena gayanya yang terlalu lugu juga jarang berbicara. Selain itu Jaemin juga terbilang lemah dari yang lain, selain karena dirinya berstatus omega, ia juga tidak lagi mengubris tindasan yang ia terima.
Kelas 12.
Rasanya Jaemin semakin kuat. Ia bangkit di lingkungan yang salah. Ia memperhatikan pergaulan teman-temannya yang terlalu liar, seperti bolos sekolah, pergi ke klub di usia yang belum legal, dan seks bebas. Hingga Jaemin nekat melompat dari jendela kamarnya di lantai dua lalu pergi tanpa sepengetahuan orang tua menuju sebuah klub malam sekitar pukul satu malam.
Merokok, minum, dan berciuman.
Semua itu Jaemin rasakan dalam satu malam. Pandangannya menggelap, pikirannya terbang entah kemana. Ia merasakan semua ini membuat hatinya lega, beban hidupnya seolah-olah menghilang, dan Jeno pun hilang dari pikirannya. Semua rasa sakit itu Jaemin atasi dengan dunia malam. Ia mulai kecanduan merokok, rasanya ia begitu kehilangan hingga stres berat ketika tidak menghisap benda tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] positions. | JenoJaemin
Fanfiction[REVISI] Terakhir kali Jeno melihatnya, dia hanyalah seorang anak laki-laki labil yang tidak mengerti apa itu cinta. Penampilannya culun, senyuman lebar seperti badut, dan rambut berbentuk mangkuk. Namun semuanya berbeda ketika Jeno datang ke sebuah...