1 • Tiga Kata

2.3K 174 1
                                    

CERITA INI DIPUBLISH ULANG.
TAPI TIDAK DILANJUTKAN SAMPAI TAMAT.
TIDAK ADA YANG DIEDIT DAN DIUBAH ISINYA.
MASIH UTUH DENGAN SEGENAP CATLOG DAN TYPONYA.

HANYA MENGEMBALIKAN SAJA. DENGAN HARAPAN BISA JADI HIBURAN PEMBACA.

WAJIB DIINGAT.
NOVEL INI TIDAK DILANJUTKAN.
HANYA PUBLISH APA ADANYA.
JADI, PANTANG MENAYAKAN, KAPAN DILANJUTKAN.

TERIMA KASIH.
SALL

.

.

.

.

Park Jimin itu bukan anak tunggal namun dia jelas kaya raya. Hmmm... membayangkannya saja, rasanya harum semerbak uang itu sudah sampai di sini.

Ini bukan kisah berat nan pelik yang menceritakan seorang mafia atau bahkan psikopat tampan yang jatuh cinta dengan tawanannya.

Auuuuh! Membayangkan hal semacam itu saja sudah sukses membuat seorang Ahn Yoojin mendadak sakit kepala sampai giginya ikut ngilu.

Tidak! ini hanya akan mengisahkan bagaimana kehidupan rumah tangga seorang Park Jimin yang apatis namun bucin setengah mati pada Ahn Yoojin, istrinya. Si wanita frontal yang ketika berbicara selalu kelewat blak-blakan, sampai membuat suaminya itu hanya bisa geleng-geleng kepala.

Ya, begitulah keduanya dan disatukan dalam ikatan pernikahan. Rasanya ... wuuuush! Jangan ditanya lagi! Rumah tangga mereka itu, bak ledakkan roket di setiap harinya.

Seperti pagi ini. Yoojin, begitulah ia biasa dipanggil atau juga dipanggil Yoo, oleh Jimin di kesehariannya. Ia selalu tersadar dengan statusnya ketika sepagi ini maniknya yang tak sengaja melirik sekilas wajah bersihtegang milik seorang Park Jimin yang sudah duduk di ujung kursi di balik meja makan dengan manik menyorot pada layar ponselnya.

"Nanti, apa masih ingin kukirimi makan siang untukmu, Jim?" Tanya Yoojin yang baru saja mengangkat Donkatsu dari dalam penggorengan. Seperti permintaan Jimin semalam, kalau laki-laki itu ingin sarapan Donkatsu pagi ini.

"Asal kau tidak sibuk saja," balasnya acuh karena masih fokus pada lanyar ponsel.

Yoojin hanya menghela napasnya saja. Ya... akan selalu seperti itu jawaban Jimin, suaminya. Tapi meski begitu, Yoojin tidak berkecil hati atau nelangsa atau putus asa atau... atau entahlah sejenisnya itu. Tidak! Karena, enak saja kalau laki-laki dengan pemikiran cetek seperti Jimin itu disuguhkan perasaan-perasaan seperti di atas tadi. Bisa-bisa, Jimin akan semakin menjadi-jadi pada Yoojin.

"Yang boleh sibuk itu hanya kau, Jim. Jika kau enak-enakkan di rumah, bisa-bisa aku berubah jadi pembantumu," celetuk Yoojin sembari melanjutkan acara memasaknya.

Jimin diam dan tidak menggubris ucapan wanita frontal yang sekarang sudah menjadi istrinya setahun yang lalu itu.

"Mau makan siang apa nanti?" Sambung Yoojin.

"Terserah," lagi, balas Jimin acuh.

Yoojin yang mendengar jawaban itu langsung saja mendesis, jengkel. "Terserah! Terserah! Kuberi cacahan Abalone, baru tahu rasa kau!" Begitulah batin Yoojin menggerutu.

Tapi tidak, Yoojin masih cukup waras untuk memberi suaminya dengan cacahan Abalone yang berakhir akan membuat laki-laki itu kesakitan. Bukan masalah kesakitannya, Yoojin terlalu malas jika harus banyak direpotkan oleh Jimin jika suaminya itu sakit. Jimin terlalu manja jika sedang sakit. Meski menggemaskan, tapi ujungnya juga merepotkan.

What I Said [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang