22 • Ke Rumah Ayah

443 76 9
                                    

"Aku besok ingin pulang ke rumah Ayah,"

Setelah makan malam itu selesai. Keduanya segera berlalu menuju ke kamar mereka. Yoojin mengekor Jimin yang akan membersihkan tubuh sedang dirinya akan menyiapkan baju ganti Jimin di walking closet mereka.

Sembari menunggu Jimin selesai mandi. Di lemari raksasa itu, Yoojin duduk termenung di sofa. Pandangannya total kosong dan kedua bahunya sudah merosot layu.

Segala perasana yang ia rasakan masih tengah ia tahan seorang diri kendati dirinya yang sudah ingin sekali meledak saja saat ini. Tapi, Yoojin sayang sekali pada Jimin sehingga ia hanya lebih memilih untuk diam.

Lamunan panjang itu sampai membuatnya tak sadar jika suaminya sudah selesai mandi dan keluar sekaligus dari dalam kamar mandi dengan balutan bathrobe hijau army.

"Kau baik-baik saja 'kan, sayang?" Jimin bertanya dan berlutut persis di depan Yoojin.

Sedang wanita itu sendiri masih saja melamun. Dia dengar suara Jimin dengan jelas. Tapi, tatapannya masih saja kelewat kosong.

"Yoojin! Sayang!" Sekali lagi seru Jimin sembari mengusap lembut lengan sang istri.

"Oh, Jim! Sudah selesai, ya?" Yoojin tergagap begitu saja.

Jimin diam melihati lekat kedua iris istrinya. "Kau baik-baik saja, 'kan?"

"Baik, Jim. Aku hanya ... perutku kenyang sekali," balas Yoojin dengan nada lesunya.

Jimin tersenyum melihat wajah tertekuk istrinya. Dia tahu jika jam-jam ini adalah jam pantang bagi Yoojin untuk makan malam apalagi sampai kekenyangan. Wanita itu hanya takut jika berat badannya akan bertambah drastis jika terlalu banyak menyantap makan malamnya. Tapi, siapa juga yang peduli? Mau Yoojin makin berisi, juga bukan masalah bagi Jimin. Yang penting, istrinya itu sehat dan bahagia yang jelas.

Setelahnya, Yoojin menyodorkan piyama tidur untuk Jimin. Terserah setelah ini suaminya itu akan ke ruang kerja atau akan menonton siaran televisi sekalipun. Jimin harus sudah pakai piyama. Karena jika sudah lupa, laki-laki itu pasti tidak akan menggantinya kendati sudah disiapan sekalipun.

"Aku besok ingin pulang ke rumah Ayah," Yoojin menggumam selagi Jimin tengah mengganti pakaiannya di sisi kiri dari posisi duduknya.

"Tiba-tiba sekali, Yoo?"

"Tidak apa-apa. Sudah rindu Ayah, Jim,"

Jimin tediam sejenak karena dia tengah sibuk mengenakan celana dalam sekaligus celana piyamanya.

"Aku besok belum bisa mengantarmu, sayang. Aku masih banyak pekerjaan di lapangan belakangan ini--" ujar Jimin tepotong.

"Aku bisa berangkat sendiri,"

"Jangan olah-olah berangkat sendir ya, kau! Perjalanan empat jam menuju rumah Ayah itu melelahkan, Yoo. Kau baru saja sembuh!"

Yoojin terdiam dengan berpangku dagu. Bukannya balik marah. Yang ada dia malah sedih jadinya. Ulu hatinya sakit dan berujung panas itu menjalar dengan cepat menuju pada kedua pelupuk hantinya.

"Hari ini aku mendengar sebuah kabar," malah gumam Yoojin.

"Kabar?" Jimin tak mengerti dan bejalan mendekati sang istri. "Kabar apa, Yoo?" Ulangnya

"Ada seorang ibu yang diam-diam membanding-bandingkan anak kandungnya dengan anak tirinya,"

Jimin ikut duduk di sisi Yoojin. Dia sama sekali tidak mengerti, apa maksud dari ucapan istrinya ini.

"Atau, seharunya itu anak kandung dua-duanya. Tapi, aku melihatnya sebagai anak kandung dan anak tiri,"

"Maksudnya apa, Yoo?"

What I Said [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang