Paginya hampir selalu sama seperti sebelum-sebelumnya. Hanya saja pagi ini sedikit berbeda. Yoojin kembali harus menelan sedikit pil pahit dari Jimin. Harusnya hal semacam itu sudah biasa ia rasakan. Tapi, entahlah. Belakangan ini moodnya gampang sekali kacau. Dia sampai heran sendiri dibuatnya. Padahal ini tidak masuk dalam masa-masa menstruasi juga. Aneh, memang.
"Kau tidak sedang mendiamiku lagi 'kan, Yoo?" Tiba-tiba tanya Jimin saat istrinya ini tengah membantu memakaikan dasi untuknya.
"Untuk apa aku mendiamimu?" Balas Yoojin dengan datarnya.
Ada alasan pasti sebenarnya di balik diamnya Yoojin pagi ini. Semalam dia meminta ijin pada Jimin untuk menghadiri undangan dari sahabatnya; pesta ulang tahun anak sahabatnya. Tapi malam itu juga Jimin menolak permintaan ijinnya tanpa penjelasan yang pasti.
Saat keduanya suda merebah di atas kasur mereka. Yoojin mulai membuka suaranya untuk meminta ijin pada sang Suami. "Oh ya, Jim. Besok aku ada acara di rumah sahabatku. Apa aku boleh pergi?" Begitulah kiranya yang Yoojin ucapkan pada sang Suami.
"Acapa? Acara apa?"
"Anaknya ulang tahun, dan aku diundang. Apa aku boleh pergi ke sana?" Ulang Yoojin penuh harap.
Hening sejenak. Meski Jimin terkesan tak perhatian pada Yoojin. Tapi jika mengenai ijin keluar rumah, laki-laki ini benar-benar sangat ketat. Jika Jimin berkata tidak maka mutlak hukumnya bagi Yoojin untuk tetap diam di rumah.
"Jam berapa?"
"Siang. Jam dua,"
Hening lagi. "Besok saja kujawab. Kupikirkan dulu,"
"Eum, tentu," timpal Yoojin yang sudah tahu kalau memang itu yang akan ia dapatkan sebagai jawaban awal dari Jimin.
Tapi belum juga besok. Baru beberapa menit setelahnya Jimin kembali menyinggung ijinnya Yoojin.
"Jangan pergi. Di rumah saja!" Ujarnya tanpa melihat ke arah istrinya. Satu tangannya terlipat di balik kepala sedang maniknya menatap lurus ke arah langit-langit kamar.
Kendati Yoojin yang sudah mulai memasuki alam mimpinya. Ia sontak kembali membuka matanya. "Tapi, Jim," sanggahnya sedikit mengangkat kepala mengarah pada Jimin.
"Sudah malam. Ayo tidur," pungkas Jimin dengan datarnya.
Dan Yoojin kembali tidak enak hati pada sikap Jimin. Ah! Entahlah! Belakangan ini selalu saja mood swing. Sampai jengkel dan bingung sendiri dengan mood!
Ia sadar sekali. Menjadi istri konglongmerat lebih-lebih yang terkenal itu memang tidak gampang. Terkadang suami mengijinkan tapi pengamanan harus ekstra ketat. Sekalinya keluar, privasi menjadi taruhan.
Jangankan pergi ke acara ulang tahun anak sahabat. Belanja bulanan saja, jarraang sekali Yoojin lakukan. Jimin sudah menyiapkan shopkeeper untuk semua kebutuhan yang mereka butuhkan. Yoojin hanya keluar rumah ketika ada acara dengan Ibu mertua atau menjenguk ayahnya, ke kantor Jimin, ke butik langganan jika akan ada acara penting, hanya itu. Selebihnya dia hanya berdiam diri di rumah saja. Maka dari itu, kenapa Yoojin selalu tenggelam di ruang baca sampai berjam-jam lamanya. Karena memang tak banyak yang bisa ia lakukan ketika di luar rumah.
"Yoo, dengar. Privasimu itu nomor satu. Kau belum merasakan rasanya diikuti para penguntit di belakangmu, Yoo," tiba-tiba ujar Jimin mengerti dengan diamnya sang istri.
"Tumben kau peka jadi manusia?" Sinis Yoojin sembari melik sekilas ke arah Jimin.
Bukannya tersindir, yang ada Jimin ingin sekali tertawa melihat wajah istrinya ini. "Ya, baiklah. Kau pasti menunggu penjelasanku semalam 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
What I Said [M]
Fanfiction❗UNFINISH❗ MARRIAGE LIFE 📍 Park Jimin itu pria apatis, sedang Ahn Yoojin itu wanita frontal. Lalu mereka disatukan 🚀 ~ Bukan cerita yang berat. Yang ringan-ringan aja, banyak ngelawaknya dan masih belum tahu benang merahnya 😪 ⓒ Sall - Des 2020