5 • Bucin

1K 118 13
                                    

Sepulang dari makan malam itu. Jimin kira situasinya akan membaik. Yoojin masih saja mendiaminya meski dia sudah mati-matian menjelaskan.

Terhitung sudah hampir tiga hari ini, istrinya hanya banyak diam. Wanita itu hanya membuka suaranya jika memang benar-benar perlu saja. Tidak seperti biasanya yang selalu banyak menggerutu ini dan itu termasuk sering bercerita soal harinya, meski yang diceritakan hanya seputar rumah, koleksi bunga-bunga di halaman samping, dan paling jauh adalah cerita soal jalanan yang Yoojin lewati saat berangkat dan pulang dari kantor Jimin guna mengantarkan makan siang dan menunggui suaminya untuk makan siang sekaligus.

"Yoo. Kau tahu, marah lebih dari tiga hari itu tidak baik. Apalagi dengan suami sendiri, dosa," ujar Jimin waktu itu.

"Kalau suaminya kau, hukumnya halal saja!" malah begitulah balas Yoojin.

Sudah! Jimin bungkam dalam seketika.

Disela-selanya, Jimin banyak merutuki dirinya sendiri. Kenapa isi otaknya terlalu kotor. Pakaian seksi, buah dada yang membusung indah dan bokong bulat yang selalu sukses membuatnya menjelajah kemana saja.

Akhirnya Jimin pasrah karena Yoojin yang masih mendiaminya. Jalan satu-satunya adalah ikut mendiami istrinya juga. Karena dia tahu, jika Yoojin itu paling tidak bisa jika didiami saja. Tapi tidak sepenuhnya diam juga, ia tentu akan menjawab jika Yoojin bertanya atau berucap.

Sedang Yoojin sendiri. Hari-harinya selalu terasa sama saja. Entah mendiami Jimin atau tetap berusaha bertegur sapa dengan laki-laki apatis itu sekalipun, rasanya tetap saja sunyi. Sejak janjinya di hadapan Tuhan dengan segenap rasa sepi dan hambar mengudara. Yoojin sudah terbiasa dengan hari-hari kopong dan tak ada rasanya.

"Sudah bangun, ya?"

Sebuah suara serak menuju cempreng memecah hening di pagi hari ketika Yoojin sudah berdiri di depan fasad menikmati sinaran matahari dan angin musim panas yang berembus pelan.

"Apa sebagian tubuhku terlihat melayang atau seperti bayangan?" Malas sekali balasan Yoojin.

Oh, karena sekretaris sialan itu! Kini yang berubah malah Yoojin. Namanya bukan lagi Ahn Yoojin tapi Ahn Apatis Yoojin. Dan Jimin berubah menjadi Park Jimin Yang Malang.

Setelahnya, tak ada kata yang terucap dari keduanya. Jimin segera bangun dari tidurnya meski dia masih mengantuk. Sedang Yoojin masih enak berdiri di depan fasad tanpa menghiraukan suaminya lagi.

Jimin putuskan untuk segera mandi dan lebih memilih pergi ke kantornya saja. Dia sadar kalau ini adalah salahnya. Dan Yoojin juga berhak marah kepadanya.

"Jim, aku belum menyiapkan sarapanmu," ujar Yoojin yang mendapati Jimin sudah rapi dengan setelan kerjanya. Sedang Yoojin, dia masih menggunakan piyamanya dan tengah merapikan ranjang tidur mereka.

"Ada rapat penting, jadi aku harus berangkat pagi sekali," balas Jimin sembari membetulkan kancing jasnya tanpa melihat ke arah Yoojin.

"Kenapa semalam tidak berkata kepadaku? Aku bisa bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapanmu,"

"Kau sudah tidur saat aku pulang jam tujuh malam kemarin. Jadi aku tidak tega untuk membangunkanmu," balas Jimin sedikit memberi penekanan pada kata jam tujuh malam. Entah sengaja atau tidak, tapi sudah terlajur diucapkan oleh Jimin juga pada akhirnya. Tapi, dia merasa menyesal lagi. Kenapa kesannya dia mendikte sekali pada Yoojin melalui jawabannya baru saja.

Yoojin diam, dia merasa menyesal dan tidak enak hati karena meninggalkan suaminya untuk tidur begitu saja, semalam. Sejak sore harinya, Yoojin memang sudah lelah sekali. Kemarin adalah jadwal membersihkan rumah ditambah membersihkan taman samping rumah. Punggung dan badannya sudah sakit semua.

What I Said [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang