Ahn Yoojin; Alive and Free

406 74 0
                                    

Tiga puluh menit setelahnya, baik Jimin dan Yoojin telah bersiap. Laki-laki itu juga sudah sarapan, sama dengan Yoojin, semangkuk sereal dan susu serta satu buah pisang dan beberapa butir anggur.

Pagi ini tujuan pertama yang dipilih Yoojin adalah Kota Tua - Stockholm.

Inginnya Yoojin, mereka pergi menaiki metro atau transportasi umum sejenis bus yang biasa digunakan oleh orang-orang lokal maupun para turis untuk bepergian ke tempat tujuan. Namun, dia hampir saja lupa jika dirinya ini adalah istri Park Jimin dan dia juga tengah liburan dengan Park Jimin pula.

Sejak kapan Jimin mau menaiki kendaraan umum?? Naik taksi saja bisa dihitung dengan jari berapa kali bayaknya. Sedang ini, laki-laki itu harus berjubal dengan penumpang yang lain, berbagi ruang dengan orang-orang asing ... euuuh! Tidak. Itu tidak akan pernah ada dalam kamus seorang Park Jimin sampai kapanpun.

Pagi ini, baik Jimin atau pun Yoojin. Keduanya benar-benar lepas dari balutan pakaian formal mereka. Tak ada yang namanya jas dan dasi yang mencekik leher selama hampir seharian. Tak ada pantofel mengkilat yang akan membungkus kaki seharian. Termasuk tak ada yang namanya dress terusan setinggi lutut dan tatanan rambut rapi serta stiletto yang menyiksa betis setiap waktu makan siang tiba.

Mereka hanya mengenakan celana jeans, kaos longgar, mantel panjang dan sneakers dan aksesoris seperlunya saja. Yang terlihat paling santai adalah Jimin malah. Dia bahkan tak membawa barang banyak selain kunci mobil, ponsel dan satu black cardnya saja.

Jimin makin tampan saja jika sudah begini. Dan Yoojin memang harus mengakuinya jika suaminya itu memang pantas dianugerahi sebagai King of Duality. Ketika tubuh atletis lelaki itu tengah dibalut dengan setelan jas. Maka, namanya adalah Apatis Park Jimin yang ketika menjawab semua pertanyaan hanya akan "Ya" "Tidak" dan "Hm" saja. Tapi, jika lelakinya ini sedang dibalut dengan pakaian casual seperti saat ini. Gelar Apatis itu memang harus dibuang jauh-jauh.

Kini yang terlihat hanya Jimin yang super santai dan seperti tak memikirkan soal pekerjaan barang sedikitpun. Lelaki itu terlihat sangat ingin menikmati masa liburnya dari pekerjaan dan hanya ingin menghabiskan banyak waktunya hanya dengan Yoojin dan calon anaknya seorang.

Sedang Yoojin. Meski dia memang yang paling bisa berpakaian super santai setiap harinya. Tapi, untuk kali ini. Kendat pakaiannya juga sangat santai, dia masih tetap membawa sebuah tas kecil yang tercangklong di pundaknya mengingat Jimin itu apa-apa selalu dititipkan pada Yoojin, entah ponsel, entah dompet, entah kaca mata bahkan kunci mobil sekalipun. Auuuh...! Merepotkan sekali memang. Tapi ya sudah, sih!

"Sudah siap, Sayang?" Tanya Jimin sembari memasang sabuk pengamannya. Yoojin hanya meng-eum saja. Dirinya tengah sibuk mencari rute menuju kota tua itu dari layar navigasi mobil.

"Jim, nanti sarapan lagi ya, di sana," gumam Yoojin tanpa melihat ke arah sang suami.

"Tumben?" Heran lelaki itu. Karena setahunya, Yoojin itu paling anti sarapan dengan porsi banyak.

"Ya, biar saja anakmu mati kelaparan hanya karena Papanya tidak pengertian," timpal Yoojin dengan santainya. Ia masih tak melihat ke arah Jimin. Maniknya masih sibuk dengan layar navigasi itu.

"Ya! Nyonya Park!" Jimin membecik sedang Yoojin segera melirik ke arah suaminya dengan senyum jahilnya. "Katakan ingin makan apa nanti! Biar kubelikan sampai setempat-tempatnya, sekaligus!" Sambung Jimin kepalang kesal.

Bukannya heran. Yang ada Yoojin malah tertawa puas dengan reaksi suaminya ini.

"Aiiih... Sayang, Papa Jimin," goda Yoojin sembari memainkan dagu sang suami.

"Cium!" Ujar Jimin seolah ingin menghukum istrinya ini.

"Cepat jalan!" Malah balas Yoojin. Ia kembali pada posisinya, bersedekap tangan dan manik lurus ke depan.

"Sayaaaang?" Jimin mulai protes.

"Diaaaaam!" Sahut Yoojin, menoleh pada suaminya dengan wajah datarnya.

Satu embusan napas pasrah menguar begitu saja dari Jimin. "Yaaaa. Baik, Nyonya," timpal Jimin begitu pasrah.

Selanjutnya malah Yoojin yang tertawa bahagia sekali. Maka satu kecupan di pipi dan di bibir sang suami telah tersemat olehnya. Jimin membalasnya dengan mata membeo yang dibuat-buat. Dan jujur saja, bisa melihat istrinya tertawa lepas bak tanpa beban seperti baru saja adalah hal paling membahagiakan ketimbang mendapat kecupan singkat nan manis dari wanita di sisinya ini.

"Lihat, Sayang, bagaimana bahagianya Mamamu," Jimin menggumam sembari mengusap lembut perut Yoojin dengan penuh kasih.

Yoojin tersenyum simpul. Dia balas menyelimuti tangan Jimin dan ia usap pula dengan sama lembutnya.

"Apa kau juga bahagia, Nak, di dalam sana?" sambungnya.

"Nak" sepenggal kata yang sukses membuat hati Yoojin bergetar dan menyalurkan hangat itu dengan cepat ke bagian pelupuk matanya. Dia hanya tak menyangka saja jika perubahan Jimin akan sedrastis ini jika soal anak mereka.

"Ji--Jim..." lirih sekali cara Yoojin memanggil nama suaminya. Detik selanjutnya, pandangan keduanya tengah bersirobok.

Jimin terheran dengan genangan bening di kedua pelupuk mata Yoojin. "Kenapa, Sayang?" Tanyanya.

Yoojin menggeleng cepat dan segera maju guna memeluk tubuh Jimin sebisanya. "I Love You," begitulah ucapnya sembari mengecupi leher Jimin dan berakhir mengecup bibir suaminya dengan lembut.

Jimin menangkup wajah Yoojin dan melihatnya lamat. Dia mengulas senyum simpulnya juga. "Aku lebih-lebih-lebih mencintaimu lagi, Yoojinku. Lebih dari apapun, aku amat sangat mencintaimu"

Yoojin mengangguk dengan dada yang makin begemuruh dengan hebat lagi. Terserah jika dia dicap sebagai wanita yang berlebihan soal perasaannya.

Toh, yang bisa merasaan dan paham dengan suasananya hanya Yoojin seorang. Mereka hanya tahu jika itu berlebihan. Tapi, mereka tidak akan tahu jika itu memang sebuah perasaan cinta dan bahagia yang datangnya bersamaan.

Kembali pada rencana perjalanan mereka ke Kota Tua.

Setelah Yoojin sedikit lebih tenang lagi. Jimin segera menjalankan kendaraan besinya itu dengan kecepatan sedang.

"Atapnya mau dibuka atau ditutup?" Tawar Jimin ketika mobil dua pintu itu mulai membela jalanan masih di kawasan homestay mereka.

Yoojin menoleh dengan cepat ke arah Jimin. "Memangnya boleh?"

Jimin tersenyum simpul. Dia paham kemana arah pertanyaan istrinya ini. "Ini bukan di negara kita yang banyak dengan paparazi dan penggemar fanatik, Sayang. Di sini kau boleh melakukan apapun tanpa harus memakai masker atau kaca mata," jedanya bertutur.

Kini, jemari Jimin tengah menekan tombol fitur agar atap mobil yang ia kendarai ini bisa terbuka. Sedang Yoojin langsung saja melongo tak percaya namun bahagia sekali.

Ini adalah hal yang paling membahagiakan. Sedikit memalukan memang bagi dirinya. Dia hanya merasa seperti sehabis keluar dari dalam goa setelah bertahun-tahun lamanya.

"Kau suka, Sayang? Kau bahagia?" sambung Jimin.

"Sangat, Jim! Aku sangat bahagia hanya karena hal ini saja," balas Yoojin dengan semangatnya. Manik wanita itu masih melihat acak ke arah pemandangan luar. Selain indah, entah bagaimana pastinya perasaannya saat ini. Yang jelas tak percaya tapi bahagia sekali.

Ini adalah hal sederhana yang amat membahagiakan untuknya mengingat ketika ia ada di negara asal mereka. Dia jelas tidak akan bisa melakukan hal semacam ini dengan leluasa. Karena memang kenyataannya, lingkungan Jimin itu sedikit mengerikan jika dari sisi penggemar. Sampai-sampai segala macam geraknya akan diawasi oleh semua pasang mata di negara asal mereka.

"Di sini, kau bisa belanja dengan sebebas dan semaumu tanpa takut banyak hal. Kau bisa jalan-jalan santai tanpa harus memakai topi atau kucing-kucingan dengan paparazi. Kau bisa melakukan apaun sebebasmu tanpa rasa khawatir. Kau bisa jadi Ahn Yoojin yang seutuhnya di sini," masih Jimin yang menyambung tuturnya.

Yoojin tak menjawabi. Dia hanya mengangguk dan terus mengulas senyum bahagianya. Ini hal sederhana sekali. Tapi, dia bahagia bukan main. Lebih-lebih ketika ia mendengar kalimat "Kau bisa menjadi Ahn Yoojin yang seutuhnya di sini."

Itu seperti bukan lagi kiriman angin segar bagi dirinya melainkan kiriman nyawa kehidupan untuk dirinya yang selama ini banyak dibatasi kegiatannya di luaran sana oleh suaminya sendiri dengan alasan keselamatannya.

What I Said [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang