Thirty seven||Archery

240 53 28
                                    

Hello my readers!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hello my readers!

Pakabar?

Makasih banyak ya, masih tetep setia baca Aries sampai sekarang.

Masih kuat daring gak nih? Capek, ya? Sama kok, aku juga.

Selamat membaca!♡

*(×_×)*

Saat jam istirahat, Meika langsung pergi begitu mengatakan padaku bahwa ia tak bisa bergabung denganku dan Hugo seperti biasa. Katanya ada tugas yang harus ia selesaikan. Paling-paling juga apel Sagi.

Hugo membawakan sekotak susu dan roti isi coklat untukku yang sedang duduk di bangku panjang taman AHS. Ingin saja menikmati angin sejuk di bawah pohon rindang.

"Nana dalem," panggil Hugo.

"Apa?"

Lelaki itu terdiam cukup lama. Lalu membuka ponselnya yang terdapat notifikasi pesan dari seseorang. Aku tak mau mengintip dan lebih memilih untuk melanjutkan makanku.

Setelah itu Hugo kembali memasukkan ponselnya ke saku dan mengambil roti miliknya. Pandangannya menerawang ke langit. Mulutnya masih terus mengunyah. Ish, bagaimana lelaki itu. Tadi memanggilku, tapi tak melanjutkan ucapannya. Dasar.

"Kamu ngapain manggil aku tadi?" tegurku.

"Um... lupa."

Ck, bocah!

Rasanya tak nyaman. Biasanya Hugo akan mengoceh dengan topik apapun yang ia punya untuk mencairkan suasana. Entah itu menggangguku atau bercerita tentang berbagai hal yang dialaminya.

"Nana dalem, aku mau nanya sesuatu boleh?"

Aku mengangguk. "Tanya aja."

Namun lagi-lagi lelaki itu terdiam. Meneguk air mineral beberapa kali. Menghembuskan napas pelan seolah menenangkan diri. Ada apa dengannya? Apa itu termasuk bagian dari gejala penyakit jiwa?

Aku berdeham untuk mengodenya. "Apaan sih, Go?"

"Eh, bentar-bentar. Tadi aku mau ngomong apa?"

Sial. Menyebalkan sekali dia. Hampir saja aku menaboknya jika tidak mampu menahan diri. Aku harus mengurangi marahku, seperti yang Mahesa bilang.

Tiba-tiba kenangan bersama Mahesa kembali terputar di benakku. Ah, aku memang belum bisa menghapuskan hal-hal yang menyangkut tentang dirinya. Berulang kali aku masih merutuki diriku yang membiarkan Hugo membuang dream catcher itu. Penyesalan memang selalu datang diakhir.

Dulu, aku yang sekeras batu selalu melebur jika Mahesa ada bersamaku. Ia tenang, setenang air disungai dalam. Lembut selembut kapas. Begitu baik dan perhatian kepadaku. Bahkan ia lebih sabar daripada Hugo. Ia adalahㅡ

ARIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang