01. Memories

142 12 7
                                    

Selamat datang di kisah rumitku

....

Cklekk!!

"Hahh ...." Helaan napas nan lembut di lakukan sosok berjas putih yang baru saja masuk ke salah satu ruangan. Matanya menatap teduh pada orang yang terlihat di sepasang pualam hitamnya. Kedua tangan di masukan ke dalam saku jas, berjalan dengan garis bibir di tarik tipis agar terlihat lebih hangat.

"Apa langit semenarik itu?" tanyanya.
Objek yang di maksud hanya meliriknya dari ujung mata. Duduk bersandar pada bangsal dengan santai, menikmati langit cerah dari balik jendela. "Nggak usah muter-muter, gimana hasilnya?"

"Kau semakin hari, semakin sensitif!" gertaknya dengan nada lembut.

Menyadari kesalahan yang di perbuat, sang objek menolehkan wajahnya pada sosok berjas putih dengan pandangan menyesal. "M-maaf dok."

"Sudahlah!" dokter tersebut duduk di sisi brankar, memindai mata si pasien sesekali menelisik dengan tatapan tajam. "Jujurlah, Arthit! Apa kau menggangap istri saya sebagai seorang wanitamu bukan sekedar teman?"

"D-dokter Gulf bicara apa!"

"Katakan."

"T-teman lah masa iya aku suka!"

"Lantas, kenapa kau menjadi seperti ini?"

"Aku nggak tahu dok, Ace sudah seperti adikku juga."

Alasan yang di buat Arthit itu menciptakan garis senyum lebar Dokter Gulf hingga mengeluarkan suara kekehan. Demi Tuhan, Dokter Gulf hanya sedang menggoda pasiennya. "Cepet sembuh, ini udah setahun. Kenapa semakin berkembang," keluh sang dokter.

"Huh? Ini sudah setahun dok."

"Umm."

"Berarti Ace?"

Gulf tersenyum dengan mata khasnya sembari mengangguk. "Ya, istri saya sudah setahun meninggalkanmu. Hari ini tepat di 12 Juni 2021."

Arthit menurunkan pandangannya, terdiam seperti biasanya. Sang dokter mengetahui topik yang di angkat agak sensitif baginya. "Hasilmu positif. Saya mohon kamu harus melawan semua hal yang ada di diri kamu, yang bisa nyembuhin ini cuman kamu sendiri. Saya nggak mau kamu masuk ke tahap PTSD lagi."

"I-iya dok."

"Ace bakal sedih lihat kamu kayak gini. Apa kamu nggak penasaran sama apa yang saya rasa sebagai seorang suami yang di tinggalkannya?" Gulf bertanya lembut, emosi anak di depannya saat ini benar-benar tidak stabil.

Arthit tahu betul, dokter di depannya ini pernah mengalami depresi ketika awal kehilangan sosok yang di cintainya, tapi saat ini sang dokter kembali sehat lagi dan melakukan aktifitasnya seperti biasa. "M-maafkan aku dok," final kalimat yang ia ucapkan.

"Saya cuman ingin kamu sembuh, mengerti?"

"Mengerti dok."

Tok ... Tok ... Tok ...

Atensi keduanya mengarah pada kaca pintu yang menunjukan ada seseorang yang akan masuk.

Objek yang belum ada beberapa menit kakinya melangkah masuk, sang pasien langsung berbicara sarkas. "Psikopat!"

"Hei ... Hei ... Kalau gue psikopat lo apa bego?"

"Gue ada ngangguan mental tapi gue nggak bunuh kakak sendiri."

"Lah lo kan emang kagak punya kakak," belanya membuat Gulf sedikit memijat pelipisnya. "MD—emdi, kamu datang kesini, mau jenguk Arthit atau berkelahi?"

Grief: The Kinds of Love - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang