16. Before The War

20 4 0
                                    

Gelap ... Suasana damai, hening, dan sejuk pada rumah yang hampir dasar rumahnya terbuat dari kayu jati. Rumah 2 lantai sangat begitu nyaman bagi siapapun yang membutuhkan ketenangan.

Lampu-lampu samar tercetak jelas pada tempat tersebut, sebagian manusia di belahan dunia mungkin sudah tertidur karena langit di waktu saat ini seperti mengatakan kata tersebut.

Tidak untuk pria dewasa berusia 26 tahun, netranya masih menatap pada kertas putih dengan ukiran tinta hitam singkat namun mengandung makna dalam.

Malam ini seharusnya dia bisa membuat strategi untuk menyelesaikan misi yang entah kenapa menjadi terbalik alur cerita yang di bayangkannya.

Mr. Jhony, sosok nomer 1 di CIA hilang tanpa jejak. Dia tanpa sosok tersebut sedikit kesulitan membuat alur cerita rencana penyerangan. Meskipun banyak orang yang mengakui kepintaran Tine untuk membuat strategi tapi dia selalu merasa belum cukup kuat untuk di bidang tersebut.

Orang ketiga CIA yang penuh dengan ide-ide cemerlang pun saat ini sedang menjadi seorang pemberontak meski dalam kacamata CIA dirinya lah yang seorang pemberontak.

Tine merasa saat ini dia sedang berperang kepintaran satu sama lain dengan musuh. Ini sulit dan gila, pikirnya. Jika sebuah rival berperang dengan fiksi menghasilkan kehilangan nyawa di antara keduanya tapi ini tidak. Siapapun yang kalah dia akan merasa tertekan seumur hidup dan berakhir menyakiti diri sendiri karena tekanan depresi yang di dapat.

Hal itu membuat si pemenang terlihat bahagia, musuhnya tanpa harus di sentuh tapi perlahan merasakan kesakitan setiap harinya. Lagi, si pemenang tanpa harus terluka untuk melukai lawannya.

Sunggu gila, bukan!

Tine yang merasakan hal itu pun cukup mengedipkan matanya berkali-kali, setidaknya dia harus percaya pada kedua timnya yang selalu membantu dia setiap misi yang di jalankan.

Jarinya mulai menyentuh tombol keyboard perlahan, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Keningnya di kerutkan dengan mata fokus pada layar yang menggunakan mode temaram.

"Tiffany, aku butuh bantuanmu." Bibir tebal Tine bergumam seolah sosok yang di sebutkan dapat mendengarkannya.

Benar ... Sosok sekretaris yang dia kirimkan pesan melalui email, wanita yang lebih tua darinya 6 tahun cukup pandai karena sudah di didik oleh kedua orangtua Tine sejak usia dini.

Hal yang membuat Tine terlihat kuat adalah karena orang-orang yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu dia tidak suka jika ada orang yang menggap dirinya adalah agen terbaik, mau bagaimanapun hasil yang dia dapat adalah hasil kerjasama tim.

Untaian kata pada sebuah kalimat paragraf di body email yang tertera di komputer di baca kembali oleh Tine Siriporn.

"Tiffany, tolong respon email ku dengan cepat."

Jika butuh cepat kenapa Tine harus mengirimkan via email? Masalahnya adalah Tine sejak sore tadi mencoba mengirim pesan singkat dan menelpon Tiffany namun tidak ada jawaban sekali.

Dia pun lupa menanyakan pada kedua anak buahnya tentang keadaan sosok sekretarisnya yang bernama Tiffany. CIA sedang goyang, tapi ia percaya bahwa Tiffany pasti akan tetap di sisinya meski rumor mengatakan yang tidak benar pada dirinya.

Yang di takutkan oleh Tine adalah Tiffany sedang tidak baik-baik aja, bisa jadi Tiffany di serang oleh rekannya bernama Jay yang saat ini sedang memberontak.

Berharap hal itu tidak terjadi apa-apa pada sekretaris, Tiffany adalah satu-satunya keluarga yang dia punya saat ini.

"Tiffany," serunya cukup sendu.

....

Jam di layar ponsel sudah menunjukan pukul 2 pagi, tapi Tine masih tetap terjaga tanpa merasakan kantuk sama sekali. Ini sudah beberapa jam setelah dia mengirimkan email kepada Tiffany tapi masih belum ada balasan sama sekali, membuat Tine menjadi berpikir berlebihan.

Grief: The Kinds of Love - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang