Dilemma 2

630 83 1
                                    

“Inget, anter sampai depan pintu. Awas kalau diculik!” Kinan memasang wajah galak pada Fabian.

Sementara laki-laki berkacamata itu hanya memutar bola matanya malas. “Iya, Ki. Aku juga tahu banget Aya bisa mendadak buas kalau merasa terancam.”

“Enak aja. Enggak, ya!” tepis Valya.

“Ya udah, jalan sana. Aku mau masuk.” Kinan semakin menunduk untuk menatap Valya. “By the way, makasih buat makanannya, Ya. Enak banget, kayak biasa. Masakan lo bikin gue tambah sayang, deh.”

Setelah berbasa-basi, akhirnya Fabian kembali menginjak pedal gas. Tidak etis juga jika mobil hitamnya berhenti terlalu lama di bahu jalan. Ini juga sudah malam, pasti Valya sudah sangat lelah dan sangat ingin istirahat. Selain itu, Fabian juga sudah sangat merindukan kamarnya.

“Gimana pekerjaan lo?” tanya Valya, memecah keheningan.

“Lancar,” singkat Fabian sambil mengangguk kecil. “Lo sendiri gimana? Sorry, tadi gue sama Kinan datangnya pas kafe udah tutup. Gue ada kerjaan tambahan, jadi agak telat.”

“Iya, gak apa-apa. Gue sama sekali enggak keberatan kalau harus masak buat anak manja satu itu. Terus, dia semangat banget cerita tentang foto bareng Nindy Malayka. Heboh banget.” Valya terkekeh, ingat betul bagaimana antusiasnya Kinan bercerita tadi sore. “Muja-muja banget lagi. Padahal, menurut gue enggak cantik-cantik amat.”

Fabian mengangguk dengan cepat, setuju dengan ucapan Valya. “Lebih cantik Kinan.”

“Bucin lo!”

Keduanya tertawa bersama. Walaupun mereka adalah mantan sepasang kekasih masa remaja, tetapi keduanya juga tidak lupa pernah menjadi sahabat. Mungkin, tidak bisa sedekat dulu, tetapi bukan berarti menjauh. Keduanya hanya ingin menjaga hubungan baik satu sama lain. Untuk Kinan ataupun bukan, mereka hanya melakukan ini sebagai teman.

“Perlu gue antar sampai depan pintu?” tanya Fabian begitu sampai di depan gerbang rumah Valya.

“Gak usah, gue bukan anak kecil. Gue juga enggak akan bilang apa-apa sama Kinan, kok.” Valya melepas sabuk pengaman, bersiap untuk turun. “Mau mampir dulu?”

“Kapan-kapan aja. Badan gue udah lengket banget,” tolak Fabian dengan lembut. “Makasih buat makanannya, Ya. Kemampuan masak lo jauh lebih baik dibanding waktu SMA.”

Valya mengambil tote bag putihnya. “Pujian lo ini tulus, 'kan? Bukan sogokan supaya gue mau masak lagi buat kalian biarpun kafenya udah tutup?” Valya terkekeh sendiri atas ucapannya. Dia membuka pintu, selangkah lagi turun dari mobil Fabian. “Makasih buat pujian lo. Gue pasti akan belajar lebih keras lagi, supaya masakan gue lebih enak.”

“Ya, lo pasti bisa. Gue percaya.”

Merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan di antara mereka, Valya bergegas turun setelah mengucapkan terima kasih. Dia setia berdiri di depan gerbang sampai mobil Fabian menghilang di belokan pertama. Setelah itu, baru dia masuk ke rumah, bersiap membersihkan diri dan tidur.

Begitu sampai kamar, Valya membuang tasnya ke sembarang arah dan membanting tubuhnya ke atas kasur. Matanya tertuju ke langit-langit, memutar kembali ingatannya pada kejadian beberapa bulan yang lalu.

***

“Ya, tebak gue ketemu sama siapa di tempat kerja gue yang sekarang!” jerit Kinan begitu masuk ke kamar Valya. Tidak ada salam, tidak ada ketukan pintu, dia langsung masuk dengan wajah hebohnya. Kemeja putih dan rok hitam masih ia kenakan, pertanda Kinan benar-benar baru pulang kerja. “Ayo, dong, tebak gue ketemu siapa di sana.” Perempuan itu memaksa.

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang