Dilemma 15

351 52 0
                                    

Seperti hari-hari sebelumnya, Valya selalu pulang terakhir dan bertugas mengunci kafe. Ia mundur beberapa langkah untuk menatap bangunan kafe. Berbagai macam perasaan menyelimuti hatinya saat itu juga.

Tidak mudah untuk menempelkan plakat bertuliskan 'Lycka' di bangunan No. 29 Jalan Lengkong Kecil ini. Valya harus berhadapan dengan berbagai banyak rintangan. Perdebatan membuat daftar menu dengan Anggun, pemilihan nama yang tak kunjung menemukan titik terang, sampai restu orang tua yang susahnya minta ampun.

“Kamu itu jurusan akuntansi, lho, Kak. Masa tiba-tiba jadi koki? Udah, masak buat hobi aja, gak usah dijadikan profesi.”

Begitu tanggapan mamanya yang tak habis pikir dengan keputusan Valya.

“Kenapa enggak perpanjang kontrak dengan perusahaan kemarin? Kerja kamu itu udah yang paling enak, malah sok-sokan mau buka kafe. Jangan bikin susah diri sendiri, Kak, terima aja apa yang sudah Allah kasih.”

Ayahnya sampai mendengkus kasar, tidak yakin Valya bisa sukses di usahanya.

Namun, di sinilah Valya sekarang. Menatap bangunan kafenya dengan perasaan bangga. Valya melepaskan pekerjaannya sebagai akuntan di perusahaan perdagangan swasta bergengsi di Jawa Barat. Dia memang berprestasi di bidang akademik—terutama matematika—tetapi hobi yang bisa membuatnya merasa bahagia adalah memasak. Akan selalu ada getaran hebat di dada Valya saat melihat orang lain tersenyum menyantap masakannya.

Lycka, diambil dari Bahasa Swedia, artinya kebahagiaan. Valya harap, tempat ini akan membawa kebahagiaan untuk siapa saja yang berkunjung. Baik untuk Valya dan Anggun sebagai pemilik, untuk para karyawan yang mencari nafkah, ataupun untuk para pengunjung yang berbagi cerita di meja mereka sambil menyantap masakannya.

“Ngelihat apaan, Ya?”

“Astaga!” pekik Valya sambil berbalik. Matanya membulat saat mendapati Fabian sedang berdiri si belakangnya. “Yan? Kok, ada di sini?” Valya mengedarkan pandangannya. “Kinan mana?”

“Baru gue anterin pulang. Gue emang sengaja datang ke sini sendiri, ada yang mau gue omongin sama lo.”

Fabian berjalan melalui Valya dia duduk di kursi yang ada di teras kafe lalu membanting punggungnya. Selain pekerjaan yang sedang banyak-banyaknya, Kinan juga berhasil membuat pikiran Fabian ruwet.

“Gimana caranya bikin Kinan seneng?”

Alis Valya menukik tajam. Dia mendaratkan bokongnya di seberang Fabian sambil memperhatikan raut wajah laki-laki itu. Sepertinya, Fabian sedang dalam masalah.

“Makanan,” jawab Valya dengan penuh percaya diri. “Terutama makanan pedes, sih.”

“Udah gue coba, tapi gak berhasil.” Fabian menggelengkan kepala dengan lesu. “Gue udah kasih makanan, beliin lipstik, beli CD Nindy Malayka, tetep aja gak berhasil.”

Fabian putus asa. Selama tiga hari ini, Kinan selalu saja memasang wajah murung. Dia hanya akan terlihat semringah saat berhadapan dengan tamu. Melempar senyum selebar mungkin, bicara dengan penuh keramahan, bahkan banyak membicarakan hal-hal yang membuat tamu tertawa. Namun, begitu keluar dari meja resepsionis, Kinan kembali terlihat sedih. Ucapan perempuan bernama Chika di Inhoftank kemarin sepertinya benar-benar membekas di hatinya.

“Kalau gue boleh tahu, kalian ada masalah apa?” tanya Valya dengan penuh hati-hati.

Duduk Fabian berubah tegap. “Lo ingat cewek yang ngira kita balikan waktu itu? Kinan ketemu sama dia waktu nemenin gue futsal. Dan gak tahu gimana ceritanya tiba-tiba mereka berantem sampai Kinan teriak-teriak.” Fabian menelan salivanya. Bagian inilah yang sulit.

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang