Dilemma 13

337 51 1
                                    

“Lho, kamu mau mampir dulu?”

Kening Kinan berkerut. Fabian tidak menjawab pertanyaannya. Dia malah memarkirkan mobil di lapangan samping rumah, melepas sabuk pengaman, lalu mengembuskan napas panjang.

Sekarang, Kinan yakin, Fabian memang sedang ada masalah. Sejak bertemu di basement, Fabian tidak mengatakan apa-apa. Kinan bercerita juga hanya dibalas dengan gumaman singkat.

Ini anak ketularan sensinya Mas Dinar kali, ya? Kinan membatin.

“Ki, aku mau nanya sama kamu.” Fabian mengecilkan volume MP3 dan memposisikan tubuhnya untuk menghadap Kinan. Dia mengatur napas, menatap Kinan dalam, lalu bertanya, “Kalau ada yang ajak makan bareng, kamu mau, gak?”

“Tergantung,” singkat Kinan dengan wajah polosnya. “Aku harus tahu dulu dalam rangka apa makan bareng itu digelar. Terus, kalau aku kenal sama orang-orangnya, baru mau.”

“Bener, 'kan? Kamu gak akan mau diajak makan tanpa acara jelas dan kamu juga enggak suka makan sama orang asing. Aku bener, 'kan?”

Meski bingung, Kinan tetap menganggukkan kepala.

Kali ini, Fabian membuang napas lega. Bahkan, tanpa sadar laki-laki itu juga mengusap dadanya. “Pokoknya, kalau nanti ada cowok yang ajak kamu makan, karyawan hotel atau bukan, kamu jangan langsung mau. Kamu harus kasih tahu aku dulu. Mau dia houseman, sesama bagian front office, atau GM sekali pun, kamu harus kasih tahu aku dulu. Cowok zaman sekarang itu banyak modusnya, kamu harus hati-hati.”

Kinan terdiam. Dia tahu pasti, Fabian bukanlah orang yang akan memberi amanat begitu saja. Dia selalu percaya bahwa orang-orang di sekitarnya tahu mana yang benar atau salah, mana yang pantas dilakukan atau yang dilarang. Dan tiba-tiba saja laki-laki itu bicara panjang lebar mengenai ajakan makan bareng, padahal tidak terjadi apa-apa. Atau, mungkin terjadi sesuatu, tetapi Kinan tidak tahu.

“Emangnya ada cowok yang mau ajak aku makan bareng, ya?” tanya Kinan sejurus kemudian. Dia melepas sabuk pengaman dan mencondongkan tubuhnya ke dekat Fabian. “Siapa? Mau makan di mana? Terus, kapan dia mau ajak aku? Kamu tahu dari mana? Karyawan hotel, ya?” Lalu, perempuan itu tersenyum penuh arti sembari memicingkan matanya. “Kamu cemburu?”

“Enggak! Ngapain aku cemburu kalau nyatanya enggak ada cowok yang mau ajak kamu makan bareng?” kilah Fabian sambil membuang muka.

“Bohong! Kalau enggak ada, ngapain tiba-tiba kamu nanya gitu? Kamu juga gak akan kasih ceramah tanpa alasan, ya. Aku tahu banget kamu gimana.” Kinan terdiam, berusaha mengingat sesuatu. “Dulu, kamu juga pernah tiba-tiba ngajak Aya belajar bareng. Ternyata, kamu tahu ada adik kelas yang mau modusin dia pakai nanya soal matematika. Padahal, aku tahu banget, kamu gak suka belajar. Waktu itu kamu takut kehilangan Aya, 'kan? Ngaku, deh!”

Tiba-tiba Fabian meraih tangan Kinan dan menggenggamnya erat. Sorot matanya jauh lebih serius dibandingkan sebelumnya. “Iya, aku takut kehilangan Aya saat itu,” jawab Fabian dengan penuh kemantapan. “Takut kehilangan adalah hal yang wajar saat kita menyayangi seseorang, 'kan? Itu menunjukkan bahwa rasa sayang aku emang besar. Dan sekarang, kehilangan kamu adalah hal yang menakutkan buat aku. Karena kamu yang saat ini aku sayang, yang aku cinta.”

Saat itu juga hati Kinan terlena. Dia tidak bisa menahan senyumnya. “Kamu tenang aja, kamu enggak akan kehilangan aku, kok. Gak ada satu pun cowok di Bandung, di Indonesia, yang bisa bikin aku berpaling dari kamu.”

“Di Korea?”

“Banyak, dong.”

Keduanya tertawa karena candaan ringan itu. Namun, situasi dengan cepat berubah saat wajah Valya muncul di jendela Fabian. Jantung mereka berdebar bukan karena asmara lagi, tetapi karena terkejut. Dengan cepat, Kinan melepas tangannya dari genggaman Fabian dan turun.

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang