Dilemma 30

374 55 2
                                    

Operasi Fabian berjalan dengan lancar. Dia sudah dipindahkan ke recovery room. Kinan dan Dinda baru saja keluar melihat kondisi Fabian, sementara Pak Ridwan—ayah Fabian—sedang bicara dengan orang tua remaja yang menabrak Fabian sambil didampingi oleh Valya dan Tristan. Aldy sudah pulang. Mamanya minta diantar ke Jakarta karena ada anggota keluarganya yang meninggal.

“Jangan khawatir, Ki. Fabian pasti akan cepet pulih. Ini cobaan buat hubungan kalian. Yang kuat, ya? Fabian butuh dukungan dan doa lo.” Itulah yang dikatakan Aldy sebelum berpamitan.

Dinda menepuk bahu Kinan. “Kamu mau pulang sekarang? Biar suami kakak yang antar.”

Dengan cepat, Kinan menggeleng. “Aku enggak mau pulang, Kak. Aku di sini aja, nungguin Fabian.”

Perempuan 31 tahun itu tersenyum. Tangannya mengusap mata Kinan yang sembab. “Kamu tetap kuat, ya? Kita hadapi semua ini bareng-bareng. Di sini ada kakak, ada Om Ridwan, ada sahabat kamu juga. Jangan merasa sendiri. Fabian pasti akan segera sadar,” ucapnya dengan penuh kelembutan. Lalu, tangannya turun menggenggam tangan Kinan. “Untuk malam ini, kamu pulang aja, ya? Fisik dan hati kamu pasti capek, kamu butuh istirahat.”

Lagi, Kinan menggeleng lemah, menolak ide dari Dinda. “Aku enggak apa-apa, Kak. Aku mau sama Fabian, enggak mau pulang. Kalau pulang juga aku gak akan bisa tidur.”

Bibir Dinda sudah terbuka, hendak menjawab perkataan Kinan. Namun, harus tertahan karena kedatangan ayahnya. Dinda bersyukur sang ayah tidak mengalami kepanikan berlebih saat menerima kabar kecelakaan Fabian. Beliau masih bisa mengontrol emosi dan berpikir rasional. Bahkan, beliau juga masih bisa bicara baik-baik dengan orang tua remaja itu.

“Gimana, Yah?” tanya Dinda, mengalihkan perhatiannya dari Kinan.

“Kita sepakat ambil jalur damai. Ayah tidak mau membuat masa depan anak itu bermasalah karena catatan kriminal. Toh, semua ini kecelakaan. Operasi Fabian juga berjalan lancar, tinggal menunggu dia sadar. Semuanya akan menjadi lebih baik,” jawab Pak Ridwan sambil tersenyum tipis. Lalu, beliau melirik arloji di tangan kanannya. Pukul 10 malam. “Kinan enggak pulang, Nak? Orang tua kamu pasti khawatir.”

“Saya di sini aja, Om. Saya udah kasih kabar ke mama dan minta izin untuk bermalam di sini.”

Pak Ridwan mengangguk. Dia mengusap kepala kekasih putranya itu. “Ya sudah, om tidak akan memaksa kamu untuk pulang. Nanti tidur di ruangan Dinda aja, ya?” Kemudian, Pak Ridwan menoleh ke arah Valya dan Tristan. “Terima kasih juga untuk bantuan kalian berdua. Om sangat berterima kasih.”

“Gak perlu sungkan, Om. Fabian teman saya, biarpun kami baru berkenalan belum lama ini,” jawab Tristan dengan senyum lebarnya yang khas. Terlihat konyol tetapi hangat dalam waktu yang sama.

“Saya akan selalu ingat nama kamu, Tristan. Kamu calon pengacara yang hebat!” tutur pria paruh baya itu dengan penuh ketegasan.

Tristan mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Lalu, dia bergabung dengan Kinan dan Valya yang duduk di kursi tunggu. Sementara Pak Ridwan, Dinda dan suaminya berpamitan ke ruang kerja Dinda karena ada hal yang perlu mereka bicarakan mengenai Fabian.

Are you okay?” tanya Valya pada Kinan. “Gue minta maaf kalau sikap gue tadi terlalu keras sama lo. Gue cuma gak mau kita semua semakin panik dan keadaan makin di luar kendali.”

“Iya, gue tahu. Lagian, lo ada benernya juga. Dengan gue teriak-teriak gak jelas kayak tadi, itu enggak akan bisa membantu Fabian. Yang ada, semuanya justru makin kacau,” jawab Kinan sambil tersenyum tipis. Dia menatap Valya lekat-lekat. Meski tidak terlalu jelas, tetapi Kinan bisa melihat mata Valya membengkak, pertanda bahwa dia banyak menangis hari ini. “Ya, makasih banget karena lo selalu di samping gue.”

Dilemma [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang